SURABAYA, HARIAN DISWAY - Wacana yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) alih-alih secara langsung, semakin mengemuka di berbagai daerah.
Salah satu alasan utama di balik usulan itu adalah anggaran yang dianggap terlalu besar untuk pelaksanaan pilkada secara langsung.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menjelaskan bahwa biaya yang diperlukan untuk mencalonkan diri dalam pilkada sangatlah tinggi.
BACA JUGA:283 Kasus Sengketa Pilkada Masuk MK, Pelantikan Kepala Daerah Berpotensi Mundur
"Bapak Presiden (Prabowo Subianto) melihat pilkada ini mahal. Boros," kata Bima di Surabaya, Jumat, 20 Desember 2024.
Ia mencontohkan, calon legislatif (caleg) di tingkat kabupaten/kota, membutuhkan modal berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk maju dan bisa terpilih.
Sementara itu, calon bupati atau wali kota harus menyiapkan dana antara Rp 10 miliar hingga Rp 70 miliar.
Sedangkan calon gubernur memerlukan modal yang jauh lebih besar, yaitu antara ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
BACA JUGA:PKS Dukung Pilkada Dipilih DPRD, Anggaran Difokuskan untuk Rakyat
"Untuk (calon) gubernur, ini yang ngeri. Minimal, Rp 400 miliar. Bahkan ada yang sampai Rp 1,7 triliun," ungkap mantan wali Kota Bogor dua periode itu.
Menurut mantan Ketua Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) tersebut, besarnya biaya politik itu berpotensi menimbulkan penyimpangan.
Sebab, bagaimana pun caranya, kepala daerah terpilih akan berusaha mengembalikan modal besar yang sudah dikeluarkan.
"Pertanyaannya, uangnya dari mana? Dan balik modalnya bagaimana? Makanya nggak beres ini. Nggak beres," kata dia.
BACA JUGA:Kader PDIP Djarot Ungkap Beberapa Daerah Belum Siap Pilkada Langsung
Sebagai langkah untuk mengatasi masalah ini, pemerintah bersama DPR sepakat untuk membahas revisi pelaksanaan Pilkada mulai tahun 2025.