Pasalnya, banyak kandidat di berbagai daerah menciptakan komunikasi politik yang tidak sehat.
Ketimbang meyakinkan pemilih dengan tawaran tentang visi-misi yang konkret, mereka cenderung memilih menggunakan uang sebagai alat untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat.
BACA JUGA:Ketua PWM Jatim Apresiasi Pilkada Damai, Berharap Khofifah-Emil Bawa Jawa Timur Lebih Maju
"Ini adalah bentuk komunikasi politik yang tidak sehat," ujar Verdy.
Menurut Verdy, politik berbiaya tinggi cenderung transaksional daripada membangun koneksi substantif dengan pemilih.
Implikasinya, biaya politik yang tinggi dapat menghambat partisipasi politik calon independen dan partai politik kecil.
"Akhirnya menciptakan oligarki politik, serta memicu praktik korupsi," jelasnya.
BACA JUGA:Tim RK-Suswono Batal Gugat Hasil Pilkada Jakarta ke MK
Jika pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini dipaksanakan, resistensi dari masyarakat bisa terjadi.
Sebab, mayoritas publik masih memiliki persepsi bahwa pemilihan langsung adalah bentuk demokrasi yang lebih utuh.
Kepercayaan publik terhadap DPRD yang cenderung rendah juga bisa memicu resistensi lebih besar.
"Tentu saja ini kemunduran demokrasi karena menghilangkan hak mereka untuk memilih langsung kepala daerah," jelas Verdy.
BACA JUGA:Usai Pilkada Jatim 2024, Ketua PW Ansor Serukan Persatuan untuk Kemajuan Jatim
Anda sudah tahu, usulan perubahan sistem Pilkada sebelumnya disampaikan Presiden Prabowo saat pidato HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024 lalu.
Prabowo mengajak seluruh ketua umum partai politik yang hadir dalam acara tersebut untuk mendukung wacana tersebut. Sebab sistem politik dalam demokrasi pemilihan langsung dianggap berbiaya mahal atau high cost politics.
Menurutnya, sistem politik dengan pemilihan langsung menghabiskan banyak uang negara dalam hitungan hari.