Bahkan, keduanya secara fisik betul-betul bisa dimaknai lemah karena keduanya hanyalah seorang pria yang tak bisa melihat dan satunya sosok seorang wanita.
Reformasi politik telah berumur lebih dari 30 tahun. Sudah seperti panjang umurnya rezim pemerintahan Soeharto. Bedanya, era reformasi telah melahirkan lima presiden yang memimpin negeri ini. Mulai Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan kini Prabowo Subianto.
Akankah setelah ini muncul siklus baru kekuasaan? Yang mengoreksi kekuasaan hasil reformasi politik yang telah berjalan selama ini? Saya tidak tahu persis.
Barangkali, sepanjang Presiden Prabowo berhasil mengonsolidasi kekuasaannya untuk memperbaiki kehidupan warga negara, siklus pergantian rezim bisa saja tak akan terjadi.
Saya yakin Presiden Prabowo tak ingin menjadi pemimpin yang berperan sebagai batas siklus perubahan. Seperti berulang-ulang disampaikan dalam pidatonya, ia ingin menjadi presiden yang mengubah. Menjadikan rakyat yang tadinya sengsara menjadi sejahtera.
Ia ingin menjadi presiden yang membebaskan, bukan ”memenjarakan” rakyatnya.
Jangan-jangan justru Presiden Prabowo yang menjadi sosok simbolis perubahan seperti Mega-Gus Dur sebelum reformasi politik dulu? Sebab, ia adalah presiden yang telah berjanji dengan tegas untuk memberantas korupsi. Who knows?
Dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi. (*)