AKHIR tahun lalu, Oxford University Press—penerbit kamus Oxford English Dictionary—menobatkan brain rot sebagai Oxford Word of the Year 2024. Terjemahan simpelnya: pembusukan otak.
Ya, kita tahu (atau mungkin tidak tahu) bahwa otak memang bisa membusuk. Menjadi tidak berguna. Dan Anda bisa membayangkan sendiri bagaimana hidup atau perilaku seseorang yang otaknya tidak berguna. Hmmm…
Tentu, brain rot bukan penggambaran otak yang membusuk secara fisik. Bukan menunjukkan otak yang tiba-tiba lembek, menghitam, berulat, atau berbelatung. Bukan itu.
Kamus Oxford menerjemahkan brain rot sebagai: the supposed deterioration of a person’s mental or intellectual state, especially viewed as the result of overconsumption of material (now particularly online content) considered to be trivial or unchallenging. Also: something characterized as likely to lead to such deterioration.
Maknanya, penurunan kesehatan mental dan intelektual seseorang karena terlalu banyak mengonsumsi hal yang remeh-temeh serta kurang menantang. Brain rot juga dilekatkan sebagai kata sifat pada hal-hal yang menyebabkan penurunan mental serta intelektual tersebut.
Peneliti Oxford tidak main-main dalam menentukan brain rot sebagai ’’kata pilihan’’ pada 2024. Anda sudah tahu, University of Oxford di Inggris itu adalah kampus tertua nomor dua di dunia. Pengajarannya sudah mulai dilakukan pada 1096 Masehi. Itu kurang lebih satu zaman dengan momen ketika Raja Airlangga mendirikan kerajaan Medang/Kahuripan.
Kamus Oxford pun sudah terbit pada 1884. Dan sejak itu, kamus tersebut menjadi salah satu rujukan pencarian kosa kata bahasa Inggris.
Nah, dalam situs resminya, Oxford menulis bahwa penggunaan brain rot meningkat 230 persen antara 2023-2024. Artinya, kata itu memang sangat populer. Terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alpha. Terutama lagi, di kalangan pengguna TikTok!
Secara khusus, brain rot memang merujuk pada era digital. Terutama mengenai dampak buruk pada seseorang yang terlalu banyak mengonsumsi konten online yang ’’receh’’ dan tidak berkualitas.
Soal ’’receh’’ dan berkualitas itu tentu kita bisa sepakat. Bahwa ada konten-konten di internet (baca: media sosial) yang memang tidak ada maknanya sama sekali.
Beberapa konten bisa jadi dimaksudkan untuk lucu, tetapi faktanya memang enggak lucu. Beberapa konten mungkin dimaksudkan untuk memberikan insight bagi pemirsanya, tetapi yang menyampaikan adalah mereka yang tidak punya kompetensi. Sehingga, konten itu justru bias dan berpotensi ’’menjerumuskan.’’
Anda, barangkali, punya berjibun contoh konten semacam itu…
Parahnya, konten tersebut banyak sekali. Tak terbendung. Apalagi, di era digital seperti ini, kita tidak hanya menjadi konsumen informasi. Dengan gawai plus akun media sosial, kita pun menjadi produsen informasi.
Dari situlah benang ruwet itu muncul. Ketika konten-konten receh itu ternyata mendulang pemirsa—juga duit—orang pun tergerak untuk memproduksi hal serupa. Duplikasi demi duplikasi terjadi. Jadinya, konten receh menjadi tak terbendung. Hypersaturated. Jenuh.
Dalam takaran tertentu, konten di media sosial memang bisa menjadi semacam rest area. Tempat orang beristirahat setelah seharian dikepung tumpukan pekerjaan yang bisa jadi menjemukan. Namun, faktanya durasi kita scrolling media sosial tanpa henti menjadi lebih lama dari pekerjaan yang seharusnya kita lakukan secara serius.