Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (8): Kehangatan dan Kejujuran di Paris

Minggu 01-06-2025,09:00 WIB
Reporter : I.G.A.K Satrya Wibawa
Editor : Heti Palestina Yunani

Buat saya, apa pun mediumnya, entah sepeda, metro atau bus kota, semuanya adalah narasi mengenai manusia. Saya mengenal Parisian melalui beragam medium.

Sebagai pendatang di kota ini, awalnya, saya berangkat dengan beragam stereotype yang ada di benak. Misalkan, soal copet. Bingkai informasi bahwa di Paris (terlalu) banyak copet membuat kami pada saat datang seperti sangat protektif, terutama berkaitan dengan telepon genggam. 

Paris, di balik pesonanya sebagai kota romantis dan pusat budaya dunia, menurut analisis dari Quotezone, Paris menempati peringkat kedua di Eropa dalam hal laporan pencopetan, dengan rata-rata 251 insiden per satu juta pengunjung. 

Lima titik paling rawan pencopetan di seluruh Prancis pun semuanya berada di Paris, yakni Menara Eiffel, Arc de Triomphe, Cathédrale Notre-Dame, Musée d’Orsay, dan tentu saja, Louvre. Tak hanya tempat wisata, stasiun-stasiun besar seperti Gare du Nord, Gare de l’Est, dan Gare de Lyon juga menjadi lokasi favorit para pelaku, terutama pada malam hari atau saat musim liburan ketika kepadatan penumpang meningkat drastis.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (7): Berinteraksi dengan Parisian di Bus

Data dari Kementerian Dalam Negeri Prancis juga menunjukkan bahwa meskipun tingkat kejahatan kekerasan di pusat Kota Paris relatif rendah, jenis kejahatan non-kekerasan seperti pencopetan justru menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. 

Namun, setelah lima bulan di sini, saya merasa Paris tidak seseram seperti di media sosial. Di bus, metro tempat umum, orang-orang menggunakan telepon genggam dengan leluasa. Barangkali memang persepsi pendatang akan berbeda, plus tentu saja, sering kali pengalaman pribadi orang yang mengalami kejahatan diproyeksikan ke semua orang. Bagi saya, sama saja dengan di Indonesia. 

Saya sempat mikir, “Wah, ini kota romantis, artistik, penuh orang elegan dengan syal melambai dan baguette di tangan.” Ya, stereotype-nya sudah masuk dari film dan iklan parfum. Tapi begitu saya mulai hidup di sini, hari demi hari, saya sadar: Parisian juga manusia yang beragam. Persepsi kita terbentuk dari konsumsi informasi yang kita dapat. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh Yunaz Karaman (6): Cappadocia di Depan Mata


Di Paris, banyak tempat yang enak untuk sekadar duduk menikmati suasana kota. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Namun, begitu duduk, dan mencerna dengan perspektif pribadi, akan muncul imaji-imaji personal yang mungkin berbeda dari orang ke orang. Pemandangan parisian hilir mudik sambil tangannya menggenggam roti baguette yang serupa pentungan satpam perumahan adalah bagian dari imaji itu. 

Barangkali eksotisme? Barangkali juga serupa dengan orang Perancis yang bakal terpukau dengan orang Bali yang menempatkan sajen tinggi di atas kepala, berkebaya dan berjalan di pematang sawah yang licin. Hal-hal yang bagi pendatang tidak biasa ditemui di negara asalnya. 

Setidaknya dari pandangan saya. Misalkan, Parisian menikmati betul ngafe. Dan itu diakomodasi kafenya. Walau saya hanya menikmati secangkir kopi dan sepotong croissant dan duduk selama dua jam, tidak akan diusir atau disindir pegawai kafe-nya. Mereka menghargai kenikmatan itu. Budaya ngafe di Paris mungkin serupa dengan di Indonesia. Tentu dengan konteks budaya masing-masing. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris


Kanan atas kanan: Budaya ngafe di Paris mungkin serupa dengan di Indonesia. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Saat ngafe, sambil nguping yang lain, saya juga belajar bahwa orang Paris suka diskusi. Bahkan obrolan paling santai pun bisa tiba-tiba berubah jadi debat ringan soal politik, filsafat. Kadang, ke kawan saya yang Parisian, saya cuma ingin bilang, “Saya cuma nanya enak mana croissant di sini sama kafe sebelah, bukan mau bahas eksistensialisme.” 

Kategori :