Jalan Sepi Sunyi Akademisi Publik, Otokritik untuk Para Akademisi dan Dikti (Tanggapan Tulisan Prof Biyanto)

Rabu 15-01-2025,09:24 WIB
Oleh: Surokim As. & M. Imron R.*

Seandainya penghargaan akademis terhadap tulisan di media massa lebih signifikan, tentu banyak dosen yang akan lebih terdorong untuk menulis di media massa sehingga ilmu yang mereka hasilkan dapat lebih mudah diakses dan terdistribusi lebih luas kepada masyarakat.

Di era digital, informasi bergerak dengan sangat cepat melalui portal berita dan media sosial. Karya ilmiah memerlukan langkah tambahan agar dapat menjangkau khalayak lebih luas, seperti diunggah ke grup WhatsApp (WA) atau media sosial lainnya. 

Kini banyak intelektual global, seperti Hamid Dabashi dari Amerika Serikat, yang lebih memilih menulis di portal berita digital seperti Al Jazeera. Langkah itu mencerminkan keunggulan media digital dalam menjangkau pembaca yang lebih beragam (Rosdiansyah, 2023).

Selain tulisan, media video juga mulai menjadi pilihan diseminasi ilmu. Akademisi dapat memanfaatkan platform video untuk menyampaikan gagasan, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat –salah satu elemen dari tridarma perguruan tinggi. Sayang, pengakuan atas upaya tersebut masih minim di Indonesia.

Sementara itu, menulis jurnal ilmiah memang memerlukan kerja keras, mulai penelitian hingga penyajian dalam format akademis yang ketat. Jurnal-jurnal itu acap kali hanya dibaca penulis lain atau peneliti yang membutuhkan referensi. Sebaliknya, tulisan di media massa yang menggunakan bahasa populer yang lebih mudah dipahami masyarakat umum  sejauh ini masih minimalis.

Padahal, menurut Rosdiansyah (2023), fungsi seorang cendekiawan adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal itu merupakan fungsi profetik yang mendekatkan akademisi dengan masyarakat. 

Sayang, sistem akademis saat ini lebih mengutamakan karya eksklusif yang sulit dijangkau masyarakat umum. Karya kampus masih selfish, eksklusif, dan banyak tersimpan rapi di rak-rak laporan riset di perpustakaan sebagai koleksi khusus.

Konsep spiral of silence yang dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann dapat membantu menjelaskan mengapa akademisi yang aktif menulis di media massa memiliki potensi besar untuk memengaruhi opini publik. 

Dalam konteks akademis, tulisan yang diterbitkan di media massa berfungsi untuk mematahkan ”spiral kebisuan” di ruang publik, terutama pada isu-isu yang memerlukan intervensi berbasis ilmu pengetahuan. 

Akademisi yang aktif menulis tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas di masyarakat. Jejak digital dari tulisan-tulisan itu berkontribusi pada edukasi publik dan membangun legitimasi intelektual di luar lingkup akademis semata.

Tulisan di media massa juga bisa membangun reputasi dosen sehingga memiliki nilai tawar yang lebih kuat, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun kebijakan publik. Dengan membangun rekam jejak yang konsisten di media massa, seorang akademisi dapat membentuk persepsi publik tentang kepakaran mereka sebagai portofolio publik. 

Dengan demikian, meski penghargaan akademis terhadap tulisan di media massa saat ini masih minim, kontribusi yang dihasilkan jauh melampaui sekadar angka kredit. 

Tulisan-tulisan tersebut adalah bentuk edukasi, inspirasi, dan amal jariah yang menciptakan nilai sosial, sekaligus membangun legitimasi akademisi sebagai bagian dari intelektual publik. 

Lebih dari itu, tulisan di media massa adalah senjata yang ampuh untuk mematahkan kebisuan dan menciptakan dialog yang lebih inklusif dan konstruktif di masyarakat.

Memang jalan menjadi akademisi publik organik itu kadang tak lagi menjanjikan jika melihat apresiasi dari Dikti. 

Jalan itu cenderung menjadi jalan sepi karena minimnya penghargaan untuk karier dosen. Namun, di balik semua itu, sudah saatnya sistem akademis di Indonesia memberikan tempat yang lebih layak bagi karya intelektual yang menyasar publik. 

Kategori :