Bagi sebagian besar koperasi, itu merupakan tantangan. Sebab, selama ini banyak koperasi menerima simpanan dan memberikan pembiayaan kepada msyarakat umum. Meski masyarakat umum itu diformat menjadi anggota, faktanya mereka bukan benar-benar anggota koperasi.
Kedua, aspek pola pembiayaan, di mana sumber dana koperasi yang berasal dari lembaga keuangan (non-anggota) tidak boleh lebih dari 40 persen. Itu juga tantangan besar bagi koperasi. Sebab, selama ini mereka sudah banyak menjalin kemitraan –baik berupa channeling maupun executing– dengan lembaga keuangan. Bahkan, besarnya aset koperasi banyak didukung oleh besarnya dana kemitraan dengan perbankan.
Ketiga, aspek pola usahanya. Koperasi close loop tidak boleh menjalankan usaha perbankan, asuransi, ventura, pegadaian, dan lembaga keuangan lainnya. Selama ini banyak koperasi memiliki produk lembaga keuangan sebagai alternatif pendapatan.
Dari tiga aspek tersebut, hal yang paling krusial bagi koperasi keuangan adalah aspek keanggotaan. Sebab, usaha-usaha yang dilarang seperti pada aspek pola usahanya masih bisa ditoleransi sepanjang sasarannya adalah anggota koperasi. Bukan masyarakat umum.
Koperasi yang tetap ingin close loop meski hasil verifikasi masuk kategori open loop harus menyesuaikan diri dengan memenuhi ketiga kategori itu. Maksimal 16 Juni 2025. Jika mereka gagal, pilihannya adalah menggabungkan diri dengan koperai lain atau membubarkan diri.
PERLU REGULASI KHUSUS
Pemisahan koperasi keuangan menjadi koperasi simpan pinjam –termasuk syariah– dan koperasi sektor jasa keuangan (KSJK) sesuai UU No 4 Tahun 2023 itu menyisakan banyak masalah. Salah satu yang pelik adalah berkaitan dengan badan usaha koperasi yang open loop.
Di satu sisi, lingkup kerja koperasi simpan pinjam (KSP/KSPPS) dibagi menjadi tiga: kabupaten, provinsi, dan nasional. Dengan demikian, banyak KSP dan KSPPS beroperasi lintas kabupaten (provinsi) dan lintas provinsi (nasional). Sementara itu, berdasar UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) No 1 Tahun 2013, lingkup operasional LKM hanya di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
Karena itu, ketika OJK menjadi regulator bagi koperasi sektor jasa keuangan, perlu ada peraturan OJK yang khusus mengatur tentang badan usaha koperasi itu. Jika menilik nama dalam UU No 4 Tahun 2023 tentang PPSK, namanya adalah koperasi sektor jasa keuangan (KSJK). Bukan KSP/KSPPS ataupun USP/USPPS, tapi juga bukan lembaga keuangan mikro (LKM) atau LKM syariah.
Jika tidak, akan kesulitan bagi koperasi open loop yang selama ini beroperasi di tingkat provinsi maupun nasional. Sebab, tidak ada dalam UU LKM No 1 Tahun 2013. Apalagi, jika melihat aset koperasi-koperasi open loop, banyak yang cukup besar untuk dimasukkan kategori LKM yang beroperasi maksimal di tingkat kabupaten.
Koperasi Kospin Jasa di Jawa Tengah, misalnya. Asetnya telah mencapai Rp 8 triliun. Cukup kecil jika dikategorikan sebagai bank umum, tapi juga cukup besar jika dikategorikan sebagai BPR. Apalagi LKM. Banyak juga koperasi yang asetnya ratusan miliar hingga triliun rupiah.
Bagi OJK, limpahan tugas mengawasi koperasi sektor jasa keuangan itu harus disiapkan dengan baik. Terutama SDM pengawasnya. Sebab, selama ini kegagalan Kemenkop yang dilimpahkan ke dinas koperasi kabupaten dan provinsi dalam pengawasan koperasi keuangan adalah minimnya jumlah dan kualitas SDM.
Akibatnya, banyak koperasi yang tidak menjalankan fungsi koperasi, tapi fungsi bank, pegadaian, dan lembaga pembiayaan. Badan hukum dan badan usaha koperasi hanya dijadikan sebagai sarana saja untuk menjalankan praktik bisnis yang jauh dari koperasi. (*)
*) Imron Mawardi adalah guru besar investasi dan keuangan Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.