Galau RUU PPSK

Galau RUU PPSK

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

BANYAK pihak mempersoalkan Rancangan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang diinisiasi DPR. Salah satunya, para penggerak koperasi simpan pinjam (KSP). Berbagai komunitas koperasi ramai-ramai menolak. Ada Forum koperasi Indonesia, Persatuan Baitul Maal wa Tamwil Indonesia (PBMTI), Microfin, Forum koperasi Syariah, Inkpdit Credit Union, Pinbuk, Peramu, dan sebagainya. 

Banyak pasal yang dinilai jauh dari filosofi koperasi. Apalagi, terkait  pengawasan koperasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti tersurat pada Pasal 192, Pasal 44A, dan 44B. Dalam rancangan UU itu, dinyatakan bahwa kegiatan simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh koperasi yang memperoleh izin dari OJK. Persyaratan perizinan akan diatur dalam peraturan OJK

Dalam draf RUU tersebut, diatur revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Selain izin dari OJK, anggaran dasar koperasi harus diubah dan disesuaikan dengan peraturan OJK. Jika sebelumnya modal koperasi hanya berasal dari anggota, pasal itu mengatur agar modal koperasi bisa juga didapat dari bank, penerbitan obligasi dan surat utang, serta sumber lain yang sah.

Pasal-pasal itu tampak mengabaikan filosofi koperasi dari, oleh, dan untuk anggota. Beda dengan lembaga keuangan lain seperti bank, koperasi simpan pinjam hanya menghimpun dana dari anggota. Yang juga merupakan pemilik koperasi itu sendiri. Tidak dari pihak ketiga. Itulah yang dinilai bahwa pengawasan oleh OJK menjadi tidak tepat. 

RUU Sektor Keuangan itu dikebut dan ditargetkan dapat disahkan akhir tahun ini. RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat itu disusun dengan metode omnibus law yang merevisi sekaligus banyak undang-udang. Selain mengatur perkoperasian, RUU tersebut juga mengatur tentang perbankan, pasar modal, perdagangan berjangka komoditas, perasuransian, dan semua sektor keuangan.

Tampaknya, penyusun RUU itu memandang bahwa pengaturan koperasi simpan pinjam penting karena banyak yang disalahgunakan. Misalnya, banyak pinjaman online (pinjol) berbadan hukum koperasi simpan pinjam. Juga, banyak KSP yang menerima simpanan dan deposito dari masyarakat, tetapi kemudian tidak dapat membayar kembali.

Laporan ke Satuan Tugas (Satgas) Investasi OJK pun banyak sekali. Banyak masyarakat yang dirugikan oleh KSP-KSP itu. Sebut saja KSP Cipaganti, KSP Pandawa, dan sebagainya. Mereka menerima dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi. Namun, mereka gagal bayar dan berujung pada kerugian masyarakat. Nilainya pun ratusan miliar rupiah. 

Para penggerak KSP berpandangan, adanya penyelewengan KSP tidak lantas diatasi dengan mengawasi koperasi layaknya bank yang menerima dana pihak ketiga. Seharusnya pengawasan KSP oleh Kementerian Koperasi dan UKM yang diperketat. Bukan mengalihkan pengawasan ke OJK. 

Sebenarnya, adanya UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sudah membedakan KSP dan LKM. Dalam UU itu, LKM dapat berbentuk koperasi, tetapi izin operasionalnya dari OJK. Otomatis akan diawasi OJK. Tapi, KSP yang izin operasionalnya dari Kementerian Koperasi dan UKM tetap diawasi Kemenkop UKM. 

Mengacu pada UU LKM itu, semestinya koperasi yang tidak benar-benar menjalankan usaha seperti layaknya koperasilah yang harus berizin dari OJK. Di antaranya, yang menerima dana pihak ketiga atau yang usahanya memberikan layanan kredit kepada non-anggota. Sementara itu, koperasi yang hanya menerima simpanan dan menyalurkan kepada anggota tetap diawasi Kemenkop UKM. 

Apa pun, tujuan RUU PPSK sebenarnya baik. Melindungi masyarakat agar tidak dirugikan lembaga keuangan. Termasuk KSP. Selama ini, KSP memang lembaga keuangan yang pengawasannya paling longgar. Maklum, beda dengan lembaga keuangan yang diawasi OJK, koperasi diawasi Kementerian Koperasi yang teknisnya dijalankan pemerintah daerah. 

Pengawasan tidak bisa dilakukan dengan baik karena jumlahnya sangat banyak.  Apalagi, di Jawa Timur, saat dipimpin Gubernur Soekarwo, dibentuk ribuan koperasi wanita dan berbasis kelompok fungsional. Di Jatim, jumlah koperasi pernah mencapai 32.000. Sebanyak 24.000 di antaranya adalah KSP, unit simpan pinjam (USP), koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS), serta unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah (USPPS). 

Di Indonesia, jumlah koperasi mencapai 150.223 pada 2015. Tahun 2019, jumlahnya menurun menjadi 123.048. Itu karena Menteri Koperasi Puspayoga memiliki program membubarkan KSP dan USP yang tak aktif beroperasi atau menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT). 

Jumlah KSP-USP dan KSPPS-USPPS yang sangat banyak itu tidak diimbangi dengan ketersediaan SDM yang cukup di dinas koperasi provinsi dan kabupaten/kota. Di Kabupaten Sidoarjo, misalnya, jumlah koperasi 1.400-an. Sebanyak 800 di antaranya adalah koperasi keuangan (KSP/USP). Sementara itu, SDM pengawasan KSP-USP di Dinas Koperasi Sidoarjo hanya enam orang. Kondisi seperti itu juga dialami semua kabupaten/kota di Jawa Timur. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: