Untuk mengatasi permasalahan itu, diperlukan pendekatan yang holistik. Hilangnya pengecer dari rantai distribusi memang dibuka peluangnya oleh pemerintah untuk menjadi pengkalan resmi. Namun, dalam kacamata para pengecer, persyaratan dan prosedur menjadi pangkalan resmi tidaklah mudah. Bukan dari kacamata pemerintah.
Parahnya, tanpa memastikan para pengecer terkonversi menjadi pangkalan resmi, pemerintah langsung memberlakukan kebijakan pembatasan tersebut.
Hemat saya, sambil menunggu proses konversi pengecer menjadi pangkalan resmi –yang saya tidak yakin akan segera selesai– sebaiknya para pengecer yang sudah ada dijadikan semacam perpanjangan tangan pangkalan resmi, semacam sub pangkalan resmi.
Bersama, pangkalan resmi dan pengecer bisa membuat skema distribusi mikro, sambil pemerintah melalui Pertamina menjadikannya sebuah solusi alternatif di samping konversi pengecer menjadi pangkalan resmi yang prosedur dan persyaratannya bisa ditinjau kembali.
Selain itu, penguatan sistem pengawasan distribusi guna memastikan subsidi tetap tepat sasaran dan meniadakan risiko penimbunan tanpa harus mengorbankan mata pencaharian pengecer juga perlu dilakukan.
Dengan kebijakan yang lebih inklusif, masyarakat kelas menengah bawah –yang selama ini bergantung pada gas melon– akan tetap bisa menjalani aktivitas ekonomi tanpa terbebani kebijakan yang justru ingin melindungi mereka.
PENUTUP
Kelangkaan gas melon yang sering terulang sejatinya bukan sekadar isu ”tabung kosong”. Ia adalah potret nyata ketimpangan dan rentannya kelas menengah bawah di Indonesia.
Kebijakan yang meniadakan pengecer, meski dimaksudkan untuk menyalurkan subsidi dengan lebih tepat, malah menimbulkan persoalan baru: distribusi terhambat, antrean memanjang, biaya transportasi meningkat, dan potensi konflik sosial.
Pemerintah sah-sah saja menyatakan bahwa kekacauan yang terjadi itu hanyalah efek sementara dari sebuah regulasi. Namun, yang perlu dicatat: efek sementara itu selalu saja terjadi dalam setiap perubahan regulasi menyangkut gas melon. Sementara bagi pemerintah. Tetapi, bagi yang mengalaminya langsung, itu adalah sebuah noda.
Jika kita berkaca pada lirik Denny Caknan –”Titeni, bakale ngerti” (amati, maka kau akan paham)– kebijakan itu sepatutnya ditinjau kembali. Memastikan subsidi benar-benar tepat sasaran bukan soal memotong jalur distribusi, melainkan merancang sistem yang menyeluruh dan tanggap dengan realitas di masyarakat.
Kelas menengah bawah –tulang punggung perekonomian kita– tak bisa terus-menerus menanggung beban kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. (*)
*) M. Hasanudin adalah analis di KOLOKIUM.ID dan Symbolic.ID dan peneliti di LPPM Stikosa-AWS.