Hilangnya waktu bukan satu-satunya kerugian yang dialami. Beban transportasi menjadi tambahan pengeluaran yang terasa bagi banyak keluarga.
Ongkos ojek atau bahan bakar kendaraan untuk pergi pulang ke pangkalan bisa memberatkan, apalagi jika ternyata harus mendatangi beberapa tempat karena gas sudah ludes.
Para konsumen yang tidak mau repot atau tidak punya waktu lama antre sangat mungkin akan membeli di pasar gelap –dengan harga jauh di atas harga eceran tertinggi (HET).
Bagi pelaku usaha kecil –warung makan, penjual gorengan, hingga pedagang kaki lima– LPG 3 kg adalah urat nadi usaha mereka. Satu hari saja tanpa gas bisa berarti tiadanya pemasukan.
Ketika akses ke tabung melon itu menjadi sulit, banyak dari mereka yang harus menanggung biaya operasional yang membengkak. Sering kali lonjakan biaya itu berujung pada kenaikan harga dagangan –membebani konsumen lain yang membeli dagangan tersebut.
Sistem distribusi formal yang tanpa pengecer ternyata juga meningkatkan risiko keterlambatan stok. Sebelumnya, pengecer bisa menjadi penyelamat ketika pangkalan tutup atau stok habis.
Kini fleksibilitas itu hilang sehingga penyaluran gas melon menjadi kian kaku dan terpusat. Seorang ibu rumah tangga yang kehabisan gas di waktu tidak tepat masih mungkin mengetuk pintu pengecer di dekatnya, tanpa harus menunggu pangkalan resmi buka keesokan harinya.
Menghapus peran pengecer dalam distribusi LPG 3 kg tidak hanya berdampak pada para pengecer tersebut, tetapi juga mengganggu rantai pasok yang selama ini cukup efektif.
Pengecer berperan sebagai ”buffer” yang mendekatkan pasokan gas subsidi ke titik-titik permukiman padat dan terpencil. Tanpa mereka, masyarakat di wilayah tertentu harus menempuh jarak lebih jauh atau bersaing dengan warga lain di sekitar pangkalan yang terbatas stoknya.
DARI KELANGKAAN KE KETIMPANGAN
Kebijakan pembatasan itu menjadi tamparan telak bagi kelompok masyarakat yang sebenarnya berada di persimpangan antara miskin dan sejahtera.
Kelas menengah bawah di Indonesia –yang jumlahnya signifikan –berupaya bertahan hidup dan masih berusaha bangkit dari tekanan ekonomi di tahun-tahun terakhir. Mulai naiknya harga bahan pokok, bergesernya lapangan pekerjaan, hingga dampak pandemi yang belum sepenuhnya hilang.
Data menunjukkan bahwa pada 2019, proporsi kelas menengah Indonesia mencapai 21,5 persen dari total populasi. Namun, pada 2024, angka itu turun menjadi 17,1 persen (Tempo, mengutip data BPS).
Artinya, jutaan orang terdegradasi dari status kelas menengah, baik karena penurunan pendapatan maupun karena biaya hidup yang makin tinggi atau karena keduanya. Mungkin ada yang naik kelas keluar ke atas dari kelas menengah, tapi pasti tidak signifikan dalam konteks yang lebih makro.
Bagi kelas menengah bawah, harga murah LPG 3 kg bukan sekadar ”subsidi” yang bisa diabaikan, melainkan kebutuhan esensial. Meningkatnya biaya untuk mendapatkan gas melon pun berarti harus memutar otak lebih keras dalam mengalokasikan uang belanja.
PERTIMBANGAN MATANG