Apalagi, saat terbit kabar pembatalan resmi oleh Dasco –bahwa instruksi pembatalan datang langsung dari presiden– silang sengkarut informasi makin terlihat.
Bukannya menjaga konsistensi pesan, proses komunikasi publik malah terpecah antara pernyataan Bahlil sebelumnya dan respons presiden melalui Dasco.
Situasi itu menandakan betapa pentingnya kejelasan tata kelola komunikasi di pemerintahan sehingga retorika kebijakan tidak berubah menjadi bumerang politik.
Menarik juga melihat bagaimana beragam aktor, terutama pemerintah dan media, membingkai polemik LPG 3 kg. Pada mulanya, pihak kementerian menekankan bahwa tujuan utama pengetatan distribusi adalah memastikan subsidi benar-benar sampai kepada golongan yang berhak.
Di atas kertas, argumen itu terdengar logis: menutup celah penyimpangan sekaligus mengatur penyaluran agar lebih akurat.
Namun, begitu pembatalan diumumkan Dasco, isu itu tak pelak bergeser menjadi narasi ”proses yang tidak matang”, bahkan ”sarat tarik-menarik kepentingan”.
Klaim konsultasi dengan presiden yang sempat diungkapkan Bahlil tenggelam di tengah derasnya opini bahwa koordinasi antar pemangku kebijakan terkesan minim.
Walhasil, kebijakan yang semula berfokus pada penertiban dan efisiensi berganti wajah menjadi simbol kekacauan yang makin menyulut pertanyaan soal koordinasi internal dalam pemerintahan.
Publik pun melihat keterkaitan antara ketidakberesan informasi pemerintah dengan gangguan kebutuhan pokok di tingkat rumah tangga. Begitu kuatnya tekanan tersebut membuat kebijakan itu tampak sebagai kebijakan tanpa perumusan terencana dan terkoordinasi dengan baik.
Dalam kacamata agenda setting, apa yang disorot media akan dibicarakan publik, dan yang dibicarakan publik akhirnya memaksa pejabat menyusun ulang strategi komunikasi.
Itulah yang terjadi pada kasus LPG 3 kg: media dan media sosial berperan sebagai corong utama yang mempertajam sorotan terhadap karut-marut proses pengambilan keputusan.
PUSARAN KEKUASAAN DAN KONSTELASI POLITIK
Dalam pusaran dinamika itu, konstelasi politik di balik layar tak terhindarkan mengemuka –mengapa pesan kebijakan tampak silang sengkarut di tingkat elite.
Bahlil Lahadalia menyatakan telah melakukan diskusi dengan presiden, yang seharusnya menjadi bukti koordinasi matang sebelum aturan baru bergulir.
Di sisi lain, Dasco mengabarkan pembatalan atas nama presiden, seolah menegaskan bahwa terdapat arahan berbeda dari pucuk kepemimpinan. Ketidaksejajaran itu berkembang liar dalam narasi konstelasi politik elite.
Masyarakat yang mengharapkan keluwesan birokrasi tentu kecewa. Perbedaan pernyataan, walau sama-sama membawa nama presiden, justru menimbulkan kesan bahwa setiap pejabat berjalan dengan irama tersendiri.