Setelah memiliki beberapa outlet, mereka tergoda bisnis makanan lain. Misalnya, ayam goreng. Gagal. Bisnis baksonya bangkrut. Semua gerainya akhirnya tutup.
”Waktu itu modal kami habis. Tinggal Rp 500 ribu,” kata Ning Rizka mengenang.
Dengan modal Rp 500 ribu itu, Ning Rizka mulai jualan kue kukus: Rp 300 ribu untuk beli bahan baku, yang Rp 200 beli alat kukusnya. Tentu, pasangan suami istri itu memulai bisnis kue kukus dengan modal cekak tersebut dari rumahnya. Tahun 2011. Di Bogor.
Dari Bogor pula, gurita bisnis kue oleh-oleh dia kembangkan. Pabrik pertama dia juga berdiri di salah satu kota di Jawa Barat itu. Melalui pabriknya itu, dia ciptakan brand yang kini dikenal sebagai oleh-oleh dari Bogor: Lapis Sangkuriang.
Sukses di kota itu, dia mengembangkannya di Surabaya, Jogja, dan Medan. Setiap kota dengan brand sendiri-sendiri. Selain Lapis Sangkuriang, ada Bolu Susu Lembang, Bakpia Kukus Tugu Jogja, Lapis Kukus Pahlawan di Surabaya, Bolu Malang Singosari, dan Bolu Stim Menara di Medan.
”Saya terinspirasi perusahaan oleh-oleh di Jepang, Tokyo Banana, yang punya brand sendiri di setiap prefektur,” kata Rizka. Prefektur adalah wilayah administrasi di Jepang setingkat dengan provinsi di Indonesia.
Pasangan suami istri Anggara-Rizka itu tergolong pengusaha yang gigih. Tahun 2010 bangkrut dari usaha bakso, tahun berikutnya bangkit dengan bisnis kue oleh-oleh, tahun 2017 bisnisnya sudah merambah di banyak kota.
Meski demikian, mereka tak akan berhenti sampai di sini. Mereka masih bertekad untuk terus mengembangkan bisnis jajanannya. Tak berhenti berinovasi. Terus ingin melebarkan sayap ke kota besar lainnya.
Bakpia Jogja yang dulu hanya dalam bentuk kukus, kini mulai memproduksi bakpia konvensional. Mereka kenalkan bakpia panggang seperti bakpia yang dikenal orang yang lama tinggal di Jogja. Produk baru Agrinesia itu dikembangkan berdasarkan riset pasar.
”Kami meriset, peredaran bakpia Jogja itu mencapai Rp 2 triliun per tahun. Tapi, ini riset dengan menghitung penjualan kasar di Jogja,” ujar Rizka dengan berbinar-binar. Seperti diketahui, bakpia yang paling terkenal di Jogja saat ini adalah Bakpia Pathok.
Tentu pengembangan bisnis jajanan yang ditekuni bukan tanpa tantangan. Ning Rizka mengakui, tantangan terbesar kini datang dari Tiongkok. Dengan hadirnya produk oleh-oleh baru yang murah. Yang membuka pabrik baru di Indonesia.
Dia memberikan contoh roti Aoka yang dijual dengan harga Rp 2 ribuan. Konon, perusahaan asal Tiongkok yang pabriknya ada di Jawa Barat itu bisa menembus omzet Rp 2 triliun hanya dalam waktu dua tahun. Tentu, itu capaian yang bisa menjadi tantangan bagi produsen oleh-oleh asli Indonesia.
Sayang, Rizka malu-malu ketika ditanya tentang omzet perusahaannya saat ini. Yang pasti, mereka yang bergerak di industri pangan bisa menghitung beberapa kekayaan pasangan suami istri kelahiran Surabaya dan Purwokerto itu.
Yang sedikit pintar matematika pasti bisa menghitung produksi dari empat pabrik yang dimiliki. Kalau pada masa peak session (musim liburan), satu pabrik bisa memproduksi 40 ribu boks jajanan, sudah berapa boks diproduksi dari 4 pabriknya. Demikian juga aset tak bergeraknya seperti 4 pabrik besarnya.
Bukan mustahil, Rizka dengan Agrinesia-nya bisa menjadi pemain baru industri jajanan yang kekayaannya melampaui Nurhayati Subakat yang besar lewat Wardah-nya. Perempuan pengusaha yang sukses mengembangkan industri kecantikan berbasis lokal. Yang kini punya kekayaan di atas Rp 40 triliun.
Adakah yang ingin sukses seperti Ning Rizka dan Nurhayati? Tiru ketekunan, keuletan, dan kecerdasannya membaca peluang bisnis di sekitarnya. (*)