Karena itu, banyak masjid yang sejak sahur sudah memutar murotal, syair Tanpo Waton, tarhim, dan azan ketika memasuki waktu subuh. Di siang hari, terkadang diputar yang sama atau tadarus dengan menggunakan toa. Dengan demikian, hanya akan makin sedikit waktu hening di bulan Ramadan.
Apakah kegiatan toa di masjid itu merupakan cermin ekspresi tingkat keislaman masyarakat di suatu daerah? Barangkali itu sangat menarik untuk menjadi bahan studi akademis. Melihat relasi antara keaktifan menggunakan toa masjid dengan tingkat keberagamaan masyarakat.
Studi itu bisa menggunakan pendekatan sosiologis maupun antropologis. Mengapa penggunaan toa masjid berbeda-beda antara Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Apakah orang Jogja yang tak begitu bersemangat menggunakan toa untuk membangunkan orang sahur dan mengajak orang ke masjid berarti tingkat keislamannya kurang?
BACA JUGA:Penyuluhan Kewirausahaan Berbasis Moral Etika pada Jamaah Masjid Al Islami Malang
BACA JUGA:Percepat Zero Kemiskinan Ekstrem via Integrasi Keuangan Sosial Islam
Ataukah budaya setempat ikut mewarnai kebijakan para takmir masjid dalam menggunakan toa. Di Jogja, hampir semua masjid juga menggunakan pengeras suara. Yang dipasang di menara mereka. Namun, toa di menara hanya digunakan ketika azan. Sebaliknya, saat salat jamaah dan aktivitas lainnya, digunakan sound system di dalam.
Apakah sikap seperti itu ada kaitannya dengan budaya tepo seliro yang masih menjadi prinsip utama warga Jogja? Dalam prinsip tepo seliro, memang diajarkan tentang toleransi, tenggang rasa, dan empati terhadap orang lain. Prinsip itu menekankan pentingnya memahami perasaan dan kondisi orang lain sebelum bertindak atau bicara.
Setiap orang yang ngugemi budaya tepo seliro akan selalu menempatkan diri di posisi orang lain. Misalnya, ia tidak akan membuat polusi suara agar orang yang sedang sakit tidak terganggu. Mereka tidak ingin orang lain –seperti orang yang sedang sakit atau nonmuslim– tak bisa tidur karena suara toa yang bertalu-talu.
BACA JUGA: Islam Inspiratif, Bukan Aspiratif
Prinsip tepo seliro dan filosofi hidup orang Yogyakarta berakar pada nilai-nilai kebijaksanaan, harmoni sosial, dan keseimbangan dalam kehidupan. Prinsip itu tidak hanya berlaku di lingkungan tradisional, tetapi juga relevan dalam kehidupan modern, terutama dalam membangun masyarakat yang toleran dan saling menghormati.
Sementara itu, budaya Surabaya lebih kental tentang keterusterangan, keterbukaan, dan bloko sutho-nya. Karena itu, mereka perlu bilang terus terang jika terganggu oleh lainnya. Selama tak ada yang protes, berarti tidak masalah. Segala permasalahan harus disampaikan dengan terbuka. Juga, tidak sungkan dengan suara keras.
Entahlah!
Saya jadi teringat tulisan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentang ”Islam Kaset” dengan Kebisingannya. Ia menulis artikel itu di majalah Tempo pada 1982. Tokoh NU yang juga presiden ke-4 RI tersebut pernah mempersoalkan penggunaan toa di masjid yang dianggapnya kurang bijak.
Ia juga galau dengan tren saat itu. Biasanya, kata Gus Dur, suara bising yang keluar dari kaset dihubungkan dengan musik kaum remaja. Musik rock, misalnya. Sebaliknya, unsur keagamaan dalam kaset biasanya dalam bentuk yang lembut seperti balada Tri Bimbo atau lagu-lagu gereja.
Tapi, saat itu sudah mulai ada suara lantang yang menjadi bagian integral upacara keagamaan. Suara itu dilontarkan dari menara masjid dan surau. Dan, itu terjadi saat orang sedang tidur lelap. Menara masjid melontarkan suara dengan volume yang setinggi-tingginya.
Selain dalam perspektif harmoni sosial, Gus Dur mempersoalkan penggunakan kaset –zaman itu belum ada Spotify dan semacamnya– untuk berbagai imbauan beribadah tersebut. Menurut Gus Dur, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur untuk bersaembahyang, kecuali ada alasan menurut agama.