Percepat Zero Kemiskinan Ekstrem via Integrasi Keuangan Sosial Islam

Percepat Zero Kemiskinan Ekstrem via Integrasi Keuangan Sosial Islam

Ilustrasi kemikinan ekstrem-Gusti-Harian Disway-

KEMISKINAN masih menjadi isu global yang sangat penting. Sebab, hingga kini masih sekitar 10,7 persen penduduk dunia hidup miskin. Jumlahnya mencapai 767 juta orang. Dipastikan, penduduk miskin belum akan berkurang signifikan karena rata-rata sejak 1990 hanya turun 250 ribu orang per tahun. 

Masih besarnya jumlah penduduk miskin itu menjadi perhatian serius semua pihak. Penghapusan kemiskinan (no poverty), misalnya, menjadi tujuan pertama sustainable development goals (SDGs). Itu ditargetkan bisa dicapai pada 2030. 

Bagaimana dengan Indonesia? Berdasar data Badan Pusat Statistik (2023), per Maret 2023 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 9,36 persen atau 25,96 juta. Sekitar 1,12 persen di antaranya (sekitar 3,34 juta) adalah miskin ekstrem. Yaitu, mereka yang hidup hanya dengan USD 2,15 PPP (purchasing power parity) atau sekitar Rp 11.605 per hari atau Rp 348.150 per bulan. Saat ini USD 1 PPP sekitar Rp 6.000, meski kurs dolar saat ini Rp 15.700.

Menurut data BPS per Maret 2023, garis kemiskinan nasional tercatat  Rp550.458 per kapita per bulan. Komposisinya, garis kemiskinan makanan sebesar Rp 408.522 (74,21 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 141.936 (25,79 persen). Dengan rata-rata anggota rumah tangga 4,71 orang, garis kemiskinan rumah tangga rata-rata adalah Rp 2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan.

Pemerintah sebenarnya sudah cukup serius menangani kemiskinan tersebut. Itu bisa dilihat dari adanya instruksi presiden (inpres) pada 4 Maret 2020 (diperbarui dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2022) untuk menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024. 

Untuk itu, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dan mengalokasikan dana yang besar untuk program pengentasan kemiskinan. Berdasarkan prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024, tingkat kemiskinan ditargetkan berada pada angka 6,5 hingga 7,5 persen. Artinya, pemerintah harus menghapus setidaknya 1,86 persen kemiskinan per tahun hingga   2024 (Bappenas, 2023). 

Hasilnya? Program-program itu masih jauh dari berhasil. Persentase  penurunan kemiskinan masih di bawah 0,5 persen per tahun. Jauh dari target 1,86 persen. Dengan begitu, tahun 2024 nanti, penduduk miskin masih berkisar 8 sampai 8,5 persen. Tahun 2021, anggaran pengentasan kemiskinan mencapai  Rp 487,8 triliun dan tahun 2022 Rp 431,5 triliun. Namun,  anggaran sebesar itu hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinan 0,57 persen tahun 2021 dan 0,89 persen tahun 2022. 

Dengan fakta tersebut, sulit bagi pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dengan hanya mengandalkan dana dan program pemerintah. Harus ada pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan itu. 

Salah satu yang potensial adalah melibatkan instrumen keuangan sosial Islam (KSI). Dalam sejarah, KSI cukup digdaya dalam mengentaskan kemiskinan dan mencapai kesejahteraan. Terutama dalam pemerintahan Islam seperti zaman Bani Abbasiyah.   

KSI memang merupakan instrumen keuangan dalam Islam yang ditujukan untuk distribusi kekayaan.  Instrumennya beragam. Ada zakat, infak, sedekah, wakaf, dan dana sosial keagamaan lainnya. Potensi  yang besar menjadikannya sebagai instrumen yang powerful untuk menjadi daya ungkit mencapai kesejahteraan.

Pusat Kajian Strategis (Puskas) Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menghitung  potensi KSI sangat besar. Potensi zakat saja terus meningkat dari Rp 233,84 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 327,6 triliun pada tahun 2022. Begitu juga potensi wakaf yang mencapai ribuan triliun. Potensi wakaf uang saja, disebut Badan Wakaf Indonesia (BWI), mencapai Rp 180 triliun per tahun. 

Libatkan Keuangan Sosial Islam

Bagi pemerintah, PR penting saat ini adalah menghapus kemiskinan ekstrem yang masih cukup besar, yaitu 3,34 juta orang. Jumlah itu diharapkan akan habis tahun 2024. Mereka, menurut  riset Bappeda Jawa Timur (2023), umumnya berpendidikan rendah dan minim akses terhadap pekerjaan yang layak. 

Mereka umumnya tinggal di rumah tidak layak huni dengan sanitasi dan akses air minum yang terbatas. Banyak di antaranya merupakan kelompok lansia dan balita yang belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap dan cenderung mengalami masalah malanutrisi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: