Percepat Zero Kemiskinan Ekstrem via Integrasi Keuangan Sosial Islam
Ilustrasi kemikinan ekstrem-Gusti-Harian Disway-
Melihat karakteristik tersebut, tampak bahwa kemiskinan bukan hanya permasalahan pendapatan rendah, melainkan juga permasalahan multidimensi. Mencakup berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Karena itu, kemiskinan tidak bisa diselesaikan melalui satu aspek saja oleh instansi pemerintah tertentu. Harus melibatkan seluruh stakeholder kemiskinan agar penanganannya efektif.
Indonesia perlu belajar dari Tiongkok dan Kazakhstan dalam penanganan kemiskinan ekstrem. Dua negara itu mampu menghapus kemiskinan ekstrem dari angka di atas 8% menjadi 0% dalam kurun waktu 6 hingga 7 tahun (World Bank, 2023). Sementara Indonesia yang cukup serius menghapus kemiskinan ekstrem hanya berhasil menurunkannya dengan angka yang kecil.
Tahun 2019, angka kemiskinan ekstrem sekitar 2,7% dan ditargetkan bisa menjadi 0 persen tahun 2024. Data BPS menunjukkan, kemiskinan ekstrem tahun 2021 masih 2,14% dan hanya turun 0,1% pada tahun 2022 (Maret). Namun, dalam setahun hingga Maret 2023, kemiskinan ekstrem turun signifikan dan tinggal 1,12 persen atau turun hampir 50%.
Mengejar target penghapusan kemiskinan ekstrem 1,12% itu mengharuskan pemerintah melakukan extraordinary effort. Sebab, pemerintah hanya memiliki sisa waktu 15 bulan sampai Desember 2024. Untuk itu, pemerintah perlu fokus pada data BPS yang menunjukkan bahwa kemiskinan didominasi wilayah perdesaan. Sebanyak 64,8% didominasi lima wilayah, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, dan NTT.
Pemerintah harus menyadari memiliki keterbatasan dana dan sumber daya. Pemerintah perlu menggandeng berbagai stakeholder untuk bersama-sama mencapai tujuan zero kemiskinan ekstrem tersebut. Salah satunya adalah dengan menyinergikan dengan keuangan sosial Islam.
Selama ini riset-riset menunjukkan bahwa instrumen KSI berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) terbukti efektif dalam menurunkan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan. Sari (2019), misalnya, melakukan perhitungan penghapusan kemiskinan dengan dan tanpa zakat.
Hasilnya, zakat produktif lebih efektif menghapus kemiskinan; 2,4 tahun dengan zakat dan 5,2 tahun tanpa zakat. Studi Widiastuti, 2019; Bouanani dan Belhadj, 2019; dan Rini 2020 juga menunjukkan bahwa makin besar dana zakat yang dikelola, akan menurunkan level kemiskinan.
Begitu juga dengan wakaf. Menurut berbagai studi, wakaf merupakan suatu instrumen yang powerful dan berkontribusi dalam berbagai poin tujuan SDG seperti SDG 2: zero hunger; SDG 3: good health and well-being; SDG 4: quality education; SDG 6: clean water and sanitation; SDG 11: sustainable cities and communities; SDG 13: climate action; dan SDG 16: peace, justice, and strong institutions. Seluruh poin SDG itu bermuara pada SDG 1, yaitu tanpa kemiskinan (Zawawi et al., 2023).
Potensi KSI di Indonesia sendiri sangat besar. Berdasar data terakhir yang dilaporkan, potensi instrumen KSI mencapai Rp 327,6 triliun untuk zakat (Puskas BAZNAS, 2022) dan Rp 180 triliun untuk wakaf uang. Tanah wakaf tersebar di 440,5 ribu titik dengan total luas mencapai 55,25 ribu hektare.
Namun, dana sosial Islam yang berhasil dikumpulkan masih sangat kecil. Dana zakat, infak, sedekah (ZIS) yang berhasil dihimpun lembaga zakat (LAZ/BAZ) hanya mencapai Rp 22,43 triliun atau hanya 6,84% dari total potensi. Begitu juga penghimpunan wakaf uang masih rendah, yaitu Rp 1,4 triliun atau 0,7% dari potensinya. Itu menyebabkan dana KSI yang dikelola secara profesional dan didistribusikan melalui program pendayagunaan produktif menjadi sangat terbatas.
Pentingnya Integrasi KSI
Banyak penyebab mengapa potensi KSI yang besar, baik dalam jumlah maupun kemampuannya mengatasi kemiskinan, belum bisa maksimal. Di antaranya, rendahnya literasi keuangan sosial Islam (zakat dan wakaf), kurangnya insentif bagi pembayar zakat dan wakaf, hingga longgarnya regulasi tentang keuangan sosial Islam, hingga tata kelola lembaga pengelola KSI.
Tata kelola itu menjadi persoalan yang sangat penting untuk memaksimalkan keuangan sosial Islam. Selama ini KSI masih dikelola secara parsial dan sampai saat ini belum terintegrasi dengan kebijakan fiskal negara (Beik, 2015). Selain itu, minim koordinasi dan sinergi antar-stakeholder dalam menjalankan program pemberdayaan.
Hal penting lain adalah kelembagaan KSI. Banyak lembaga pengelola KSI yang beroperasi ilegal. Baru saja Kementerian Agama (Kemenag) merilis 108 nama lembaga zakat yang menjalankan aktivitas operasional tanpa izin legalitas oleh Kemenag (CNBC Indonesia, 2023). Itu menunjukkan bahwa kontrol terhadap lembaga KSI di Indonesia perlu ditingkatkan. Kemenag, BAZNAS, BWI, dan Kemenag perlu meningkatkan pengawasan lembaga KSI.
Yang tak kalah pentingnya adalah keberadaan payung hukum untuk menaungi integrasi instrumen KSI. Integrasi menjadi kunci optimalisasi KSI dalam pengentasan kemiskinan. Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki landasan hukum yang dapat digunakan untuk menaungi integrasi antarinstrumen KSI yang berbeda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: