AWAL PUASA di Jogja masih harus menyesuaikan jadwal sahur dengan penuh saksama. Hampir saja hari kedua puasa terlepas waktu sahur karena tak ada yang membangunkan. Ada masjid yang setiap waktu sahur mengingatkan dengan sayup-sayup.
Tapi, suara itu tak cukup bisa menjadi andalan untuk membangunkan orang yang sedang tidur terlelap. Terlalu sayup. Juga, seruannya tak terus-menerus. Hanya dalam bentuk suara imbauan untuk sahur. Beberapa kali saja. Sahur…sahur…sahur.
Beda dengan di Surabaya. Hampir dipastikan suara toa masjid bisa membangunkan orang tidur. Karena begitu kerasnya. Belum lagi masih diikuti dengan murotal, rekaman bacaan para imam Masjid Al Haram yang diputar. Tidak hanya satu masjid. Biasanya bersahut-sahutan dari beberapa masjid.
BACA JUGA:Yahudi Pesek dan Kiri-Islam
BACA JUGA:Rocky Gerung ”Hujjatul Islam”
Umumnya, anjuran untuk sahur itu akan terus sampai imsak tiba. Setelah itu, jelang salat Subuh, dilanjut dengan tarhim dan azan. Di Surabaya, sebagian besar masjid masih ditambah dengan lantunan syair Tanpo Waton yang dulu dikira sebagai suara Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Hal yang kurang lebih sama terjadi di Jakarta. Kebetulan dalam setahun lebih terakhir, saya sering tinggal di ibu kota itu. Untuk urusan pekerjaan maupun sekadar sambang cucu –eh juga istri yang sudah setahun merawat cucunya saat ditinggal ayah dan ibunya bekerja.
Bahkan, saya sering mendapati masjid yang setiap hari dari pagi sampai siang menggunakan toa untuk seluruh kegiatan masjid. Mulai kegiatan salawatan, khataman Al-Qur’an, sampai dengan istighotsah. Semua menggema di sela-sela bangunan gedung pencakar langit di Jakarta.
BACA JUGA:Krismu, Krisnu, dan Krislam
BACA JUGA:NU Menduniakan Islam Damai
Tentu, setiap takmir masjid punya pertimbangan sendiri-sendiri. Mengapa mereka harus menggunakan toa keras-keras di sepertiga malam waktu sahur. Pasti mereka berniat mulia. Ingin syiar Islam berkumandang. Membangunkan orang untuk sahur di bulan puasa pasti berpahala.
Apalagi, dalam Islam, dianjurkan kepada semua umatnya untuk mengajak kepada kebaikan. Semua aktivitas toa masjid itu dimaknai sebagai ajakan berbuat baik kepada semua orang yang mendengarkan. Selain itu, dianggap sebagai kegiatan untuk mencegah kemungkaran.
Pascarevolusi teknologi informasi dan makin banyaknya orang Indonesia ke Makkah dan Madinah, masjid-masjid senang memutar rekaman bacaan Al-Qur’an para imam Masjidilharam maupun Masjid Nabawi. Apalagi, pada saat bulan puasa yang dianggap sebagai bulan suci ini. Terkadang, antarmasjid berlomba.
BACA JUGA:Wayang Toa
BACA JUGA:Parenting Islami di Tengah Tantangan Digital