Inovasi Buruh Sritex yang Ter-PHK

Kamis 06-03-2025,14:31 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Sosiolog Amerika Serikat (AS) Prof Robert King Merton dalam karyanya yang bertajuk Social Structure and Anomie (jurnal American Sociological Review, 1938) menyebutkan teori yang mirip dengan unen-unen bahasa Jawa ”moto peteng” itu. 

Merton dalam karyanya itu menyebutnya sebagai strain theory (teori ketegangan). 

Dijelaskan, perbuatan kriminal seseorang dapat terjadi karena kebutuhan orang itu yang tidak terpenuhi. Khususnya kebutuhan dasar, makan-minum, tempat tinggal, transportasi, di zaman sekarang (atau 87 tahun setelah teori itu dicetuskan) ditambah akses internet 

Menurut Merton, dalam masyarakat ada tujuan sosial yang diinginkan semua individu. Tujuan sosial terbagi secara bertingkat-tingkat. 

BACA JUGA:Ketua Komisi VII DPR Desak Pemerintah Cegah PHK Massal Sritex

BACA JUGA:PT Sritex Resmi Ditutup Besok! Ribuan Orang Kena PHK, Begini Nasib Hak Mereka

Mulai pemenuhan kebutuhan hidup dasar, kekayaan, pendidikan tingkat tinggi, dan status sosial. Pada tingkat lanjut (setelah kebutuhan dasar terpenuhi) bersifat ”butuh pengakuan” dari masyarakat.

Namun, tidak semua individu memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mencapainya secara sah (legal atau tidak dapat dibuktikan hukum bahwa itu ilegal). Baik kebutuhan dasar maupun tingkat lanjut.

Seseorang yang mengalami kesenjangan antara tujuan tersebut dan cara legal untuk mencapainya (misalnya, karena kemiskinan atau pengangguran), mereka mengalami ketegangan (lebih tepatnya tekanan) atau strain. Itulah strain theory

BACA JUGA:Upaya Kasasi Ditolak MA, Raksasa Tekstil Sritex Tetap Dinyatakan Pailit

BACA JUGA:Pralaya Sritex, Alarm Bahaya Industri Manufaktur Indonesia?

Untuk mengatasi tekanan itu, individu dapat merespons dengan lima cara.

Pertama, konformitas. Orang itu tetap mengikuti aturan meskipun menghadapi kesulitan. Terus berikhtiar tanpa melakukan tindak kejahatan demi memenuhi tujuan atau memenuhi kebutuhan hidup dasar. Misalnya, bekerja keras, kalau perlu kerja dobel, hidup hemat, menabung, menempuh pendidikan tinggi.

Kedua, inovasi. Mencari cara ilegal untuk mencapai tujuan. Melakukan kejahatan motif ekonomi. Misalnya, menipu, mencuri, merampok, membunuh, atau korupsi.

Ketiga, ritualisme. Tetap menjalankan aturan, tetapi tanpa ambisi untuk mencapai tujuan. Orang itu tidak berbuat jahat, tapi juga kurang keras berikhtiar untuk mencapai tujuan. Cenderung ke ritual mistis.

Keempat, retretisme. Tidak berbuat jahat, tapi menarik diri dari masyarakat. Misalnya, menyendiri mabuk-mabukan dengan alat seadanya, mabuk lem, buah kecubung, atau jamur tahi sapi.

Kategori :