Ramadan Kareem 2025 (28): Merekam Sundayana Nan Tirtasewana

Jumat 28-03-2025,05:00 WIB
Reporter : Suparto Wijoyo *)
Editor : Heti Palestina Yunani

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (20): Mencari Surabaya saat Ramadan

Diyah Pitaloka beserta keluarganya terhempas dalam simbahan luka yang berujung lara yang direguk rakyat sampai kini, akibat tragedi di Lapangan Bubat.

Perkawinan yang gagal ditambah dengan “bumi hangus” keluarga kerajaan Pasundan oleh “ambisi politik yang tidak dibarengi dengan diplomasi katrisnan” dari Gajah Mada itu, ternarasi dalam ingatan sosiokultural yang semakin lama semakin manages di hati rakyat Sunda. 

Peristiwa perih yang menghunjam dalam lubuk peradaban dan terus membuncah pada ingatan yang terdongengkan dari generasi ke generasi ini dibungkus dalam “kelambu” Sundayana.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (19): Ngaji Multifungsi TNI

Dalam lingkup inilah torehan hebat Gajah Mada di tahun yang sama, 1357 dengan menghadiahi Hayam Wuruk melalui keberhasilan Ekspedisi Dompu oleh Laksamana Nala, tidak membuat Sang Raja mengembang senyumnya.

Napasnya tetap ditarik pelan dengan lirih suara Raja Dangdut Rhoma Irama “kegagalan cinta” yang menyemesta. Hayam Wuruk merintih dalam perihnya jiwa atas gelora rindu yang terhuyung pilu dan itu semakin mengelamkan jiwanya.

Karena justru ulah memolitisir cinta dengan “penundukan atas nama kemegahan kerajaan”. Sejak itu Gajah Mada merasa bersalah dan menghaturkan “tebusan ruhaniah” melalui mekanisme Paseradaan Agung (“haul akbar”).

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (18): Banjir yang Terundi

Itu dilakukan untuk mengenang almarhumah Gayatri Rajapatni di tahun 1362 dengan ucap pamungkas yang menyentuh “langit tertinggi” keluhuran budi Hayam Wuruk. Gajah Mada berucap: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”.

Ekspresi Gajah Mada pada saat mengucap “segala titah Raja tidak boleh diabaikan” dengan menyimpuhkan diri “pasrah bongkokan seluruh pengabdiannya kepada sang Raja”, menurut Muhammad Yamin (1945) sambil membungkukkan diri, penuh khidmat.

Dari sinilah Gajah Mada mengambil “jalan menepi” dari sengkurat politik menempati tanah hadiah Sang Raja di Madakaripura. Gajah Mada topo kumkum menebus salah membasuh luka jiwa raga Sang Noto.
Ada Jalan Prabu Siliwangi di Surabaya.--

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (17): Belajar Takwa Semesta

Dalam ritual mandi air suci di Madakaripura inilah, Gajah Mada membopong harkatnya menjemput maut, mengidungkan akhir hayatnya di tahun 1364 dalam tumindak yang dinamakan tirtasewana.

Sudahkah kita mampu “menirtasuwanakan” ego anak-anak dari Majapahit untuk menebus “kepahitan” Pasundan? Alhamdulillah kini kita menyaksikan ada Jalan Sunda atau Jalan Prabu Siliwangi di Surabaya. Sungguh ini keseimbangan yang terukir dengan Jalan Majapahit di Kota Bandung.

Inilah bukti kukuhnya “titik nasionalisme” yang harus disuarakan kepada anak-anak zaman ini. Sebuah kisah yang menyejarah untuk dibuncahkan di jiwa-jiwa bangsa. Mudik terasa menyulam sejarah. (*)

Kategori :