Gelisah Sipil

Kamis 27-03-2025,14:43 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

TIBA-TIBA SAJA, berseliweran di media sosial saya cuplikan perbincangan Akbar Faisal Uncensored (AFU). Kebetulan sedang membahas isu yang sedang hangat tentang TNI. Terkait penempatan salah seorang prajuritnya di posisi politik yang strategis dan rancangan Undang-Undang TNI.

Kebetulan lagi, ia menampilkan dua narasumber yang sangat istimewa. Satu saya kenal dan satunya tidak. Tapi, keduanya dikenal banyak orang sebagai sosok yang sangat paham tentang jeroan TNI. Kebetulan juga keduanya adalah anak kolong, sebutan untuk anak keluarga TNI.

Yang saya kenal adalah Andi Widjajanto. Seorang mantan dosen UI yang pernah menjabat menteri sekretaris kabinet dan gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). Beberapa kali saya berkesempatan untuk ngobrol khusus dengannya. Bahkan, ia sempat berkunjung ke kantor saya di Surabaya.

Satunya pengamat yang saya tidak kenal. Salamat Ginting namanya. Ia mantan wartawan yang studinya di S-1 sampai S-3 tentang militer. Kini ia menjadi pengajar di Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Sayang, saya tidak mengenalnya meski kata Akbar Faisal, yang bersangkutan pernah berprofesi wartawan.

Lalu, siapa Akbar Faisal? Ia juga pernah menjadi wartawan. Juga, pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Hanura. Beberapa kali pernah menjadi aktivis partai. Mulai Partai Demokrat sampai Partai Nasdem. Setelah tak menjadi anggota DPR, ia kini populer lewat podcast politiknya.

”Kami bertiga anak kolong. Namun, saya anak kolong dari TNI yang berpangkat rendah,” katanya di awal perbincangan. Rupanya ia ingin menunjukkan perbedaan antara ketiganya meskipun sama-sama anak kolong. Andi adalah putra Mayjen (pur) Theo Syafei, seorang perwira yang aktif di PDI Perjuangan setelah pensiun.

Perbincangan itu menjadi perhatian publik. Hanya dalam sehari, podcast AFU tentang TNI tersebut sudah ditonton hampir 300 ribu orang. Di-like hampir 2 ribu orang dan dikomentari dalam jumlah yang hampir sama. Itu perbincangan serius yang mendapat perhatian besar publik.

Saya pun banyak mendapat pencerahan baru. Dari perbincangan tersebut. Akbar Faisal lebih suka menyebut forumnya bukan sebagai ajang talk show. Tapi, lebih sebagai ajang diskusi. Karena itu, ia memperlakukan narasumber sebagai mitra diskusi untuk objek yang diwawancarai.

Barangkali karena seorang politikus berlatar belakang wartawan, Akbar Faisal tampak sekali berusaha seobjektif mungkin. Baik dalam mengajukan pertanyaan maupun saat mengomentari pernyataan narasumbernya. Juga, selalu berusaha melihat persoalan banyak hal dari dua sisi.

Ia tunjukkan sikapnya. Ingin TNI tetap dalam koridor reformasi. Tak terlalu masuk ranah sipil. Apalagi politik. Tetap profesional. Tapi, ia tak menutup masuknya militer aktif sesuai dengan kebutuhan. Tapi, bukan kebutuhan pragmatis. Kebutuhan karena perkembangan teknologi maupun jenis ancaman negara.

Ia mengiyakan Andi Widjajanto yang berpendapat demikian. Bagi mantan gubernur Lemhannas itu, bisa saja presiden, kementerian, atau lembaga membutuhkan tentara aktif. Namun, semuanya harus melalui proses yang benar. Tidak melanggar aturan. Apalagi undang-undang. 

Soal penempatan tentara aktif di ranah sipil itu memang sedang ramai diperbincangkan. Pertama, dipicu pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai sekretaris kabinet. Terus, diikuti kenaikan pangkat yang melompat menjadi letnan kolonel. Kedua, terkait UU TNI yang, antara lain, menambah lima kementerian dan lembaga lagi yang bisa diduduki tentara aktif.

Yang menarik, ada data diungkap Salamat Ginting. Selama ini ternyata sudah ada ratusan tentara aktif yang dipekerjakan di berbagai ranah sipil. Termasuk di BUMN. Ia memang penganut mazhab tentara harus profesional. Tetap di barak. Jangan digiring ke dwifungsi seperti dulu lagi.

Bagi mereka berdua, tidak boleh ada masalah dalam organisasi TNI yang diselesaikan oleh kementerian atau lembaga lain. Demikian juga sebaliknya. Jika ada masalah di lembaga dan kementerian, lantas diselesaikan dengan menempatkan para jenderal di lembaganya. Apalagi dengan harus menerabas UU TNI.

Banyak yang sepakat bahwa TNI bukan tidak boleh berpolitik. Tapi, politik TNI adalah politik negara sesuai dengan Saptamarga. Bukan politik praktis. Apalagi, politik pragmatis. Hal itu sangat penting untuk menjaga kelangsungan bernegara kita. Negara yang telah bersepakat untuk mengedepankan supremasi sipil dalam berdemokrasi.

Kategori :