BACA JUGA:Korupsi sebagai Problem Budaya
Keenam, korupsi ASABRI Rp 22 triliun. Ketujuh, korupsi Jiwasraya Rp 17 triliun. Kedelapan, sawit CPO Rp 12 triliun. Kesembilan, Garuda Indonesia Rp 9 triliun. Kesepuluh, BTS Kominfo Rp 8 triliun. Kesebelas, kasus Bank Century Rp 7 triliun.
Faktanya, dalam penegakan hukumnya, kasus-kasus megakorupsi itu tidak selesai sampai tuntas. Hanya sebagian kecil pelakunya yang masuk penjara.
Mengapa kasus-kasus megakorupsi tersebut dapat berjalan mulus dalam rentang waktu tahunan? Patut diduga ada kekuatan besar yang menyokongnya. Dalam beberapa literatur dan praktik megakorupsi yang terjadi di berbagai negara, korupsi kerap kali melibatkan orang-orang besar yang memiliki jejaring kekuasaan.
BACA JUGA:Polemik Korupsi Lelaki-Perempuan
BACA JUGA:Mengapa Korupsi Marak?
HAMBATAN STRUKTURAL-KEKUASAAN
Kasus-kasus korupsi besar dengan nilai kerugian yang sangat besar tersebut belum terselesaikan dengan tuntas sampai akar-akarnya. Selama ini kasus-kaasus tersebut baru menjerat beberapa orang sebagai tersangka.
Sementara itu, ”jejaring korupsi” yang terkait belum tersentuh. Tak tersentuhnya jejaring korupsi tak lepas dari jejaring kekuasaan yang ada. Dalam beberapa kasus korupsi besar, ada dugaan keterlibatan orang-orang besar dan menduduki jabatan penting negeri ini, tapi tak tersentuh.
Kondisi itulah yang selama ini menjadi hambatan psikologis dan politis bagi aparat penegak hukum untuk membongkar secara tuntas skandal megakorupsi tersebut. Berbagai kasus korupsi besar yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat terstruktur, sistemik, dan masif.
Kasus-kasus korupsi besar mesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha.
Korupsi struktural bagaikan korupsi ”laba-laba”, melibatkan jejaring yang cukup rumit. Tipe korupsi yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan itulah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antarsimpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda.
Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun, sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh. Secara teoretis, korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional.
Menurut Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan ”sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberikan keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain.
Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain.
Sementara itu, dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.