Dalam perspektif teori Marx, negara pada hakikatnya merupakan negara kelas. Artinya, negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi dan politik.
Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis.
Ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elite kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam pandangan Marx selalu berpihak dan mengangkat kelas berkuasa dan menekan kelas bawah atau masyarakat.
Negara dianggap sebagai institusi yang memiliki keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya (Suseno, 2003:120).
UJIAN APARAT PENEGAK HUKUM
Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elite kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri.
Itulah yang menurut Marx sebagai wajah orisinal kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan cermin kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993:82). Hukum dimanfaatkan sebagai instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002: 23).
Hukum adalah representasi dari kepentingan elite yang berkuasa. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, ada indikasi mengarah pada keterlibatan orang-orang di lingkungan istana kekuasaan.
Karena itu, dalam konteks kasus korupsi struktural (baca: megakorupsi), ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi aparat penegak hukum, baik Kejaksaan Agung, KPK, maupun Polri, terutama dalam kasus Pertamina Patra Niaga adalah Kejaksaan Agung.
Apakah Kejaksaan Agung berani dan profesional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih atau terjebak dan menjebakkan diri dalam pertarungan kepentingan politik? (*)
*) Umar Sholahudin adalah dosen sosiologi korupsi, FISIP, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, dan penulis buku Korupsi, Demokrasi, dan Kedilan (2021).