Negara hadir hanya memfasilitasi ekspansi para kapitalis tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi berjalan diiringi pula dengan ketimpangan ekonomi (Meyland, 2022).
Sejumlah negara raksasa ekonomi, seperti AS dan Tiongkok serta yang tergabung dalam G-7 saling berkompetisi secara ekspansif satu sama lain dan mengakumulasi kapital secara agresif yang justru riskan menggiring setiap negara menerapkan proteksi ekonomi dengan tujuan ingin saling menundukkan pesaingnya.
Sebenarnya, dampak buruk perang dagang bukan hanya bermuara dari persaingan ekonomi, melainkan imbas dari paradoks sistem kapitalisme yang digerakkan para penguasa negara adidaya itu sendiri.
Buktinya? AS sebagai negara penyokong utama ideologi kapitalisme dan mendorong perdagangan bebas malah mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif yang merusak tatanan dan melanggar prinsip perdagangan bebas.
AS memberlakukan politik entry barrier berupa pembebanan tarif tinggi yang bersifat proteksionis kepada lawan dagang.
Dalam kacamata kapitalisme, kemajuan ekonomi negara lain (baca: pesaing) dilihat sebagai ancaman yang berpotensi mendisrupsi ekspansi kemajuan ekonomi negaranya.
Perang dagang dan kebijakan proteksionis AS akhirnya justru menyingkap wajah asli kapitalisme yang neoliberal, tetapi egois.
Ironisnya, sejumlah lembaga ekonomi multilateral semacam IMF dan Bank Dunia tak berkutik sebagai juri pengadil dalam menghadapi supremasi dan hegemoni kapitalisme yang sangat proteksionis. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership.--