4 Dampak Comparison Culture dan 6 Cara Mengatasinya

Senin 28-04-2025,16:30 WIB
Reporter : Pingki Maharani*
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY - Seiring berkembangnya teknologi, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang.

Dari pagi hingga malam, kita disuguhkan dengan berbagai unggahan yang memperlihatkan kehidupan orang lain kesuksesan, kebahagiaan, perjalanan mewah, hingga pencapaian yang tampak luar biasa.

Tanpa disadari, fenomena ini melahirkan budaya perbandingan atau yang sering disebut ‘comparison culture’, di mana seseorang merasa harus mengukur keberhasilan dan kebahagiaannya berdasarkan standar yang ditampilkan oleh orang lain di dunia maya.

BACA JUGA: Doomscrolling: Maraknya Informasi Negatif di Media Sosial, Picu Gangguan Mental

Platform seperti Instagram, TikTok, dan LinkedIn dirancang untuk menampilkan versi terbaik dari kehidupan seseorang. Foto-foto yang diedit dengan sempurna, cerita sukses yang hanya menyoroti kemenangan, serta pencapaian besar yang dibagikan tanpa konteks perjuangan di baliknya, membuat ilusi bahwa kehidupan orang lain selalu lebih baik.

Algoritma media sosial juga memainkan peran besar dalam memperkuat pola ini. Konten yang menarik lebih banyak perhatian akan lebih sering muncul di linimasa, menciptakan bias terhadap kesempurnaan yang tidak selalu mencerminkan realitas.

Otak manusia secara alami cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Psikolog sosial Leon Festinger mengemukakan teori ‘Social Comparison’ yang menjelaskan bahwa individu menilai diri mereka sendiri dengan membandingkan pencapaian, status, atau atribut tertentu dengan orang lain.

BACA JUGA: Cara Menjaga Kesehatan Mental di Era Media Sosial

Jika perbandingan ini menghasilkan kesenjangan yang terlalu besar, seseorang bisa mengalami perasaan tidak cukup baik, rendah diri, atau bahkan stres.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology oleh Melissa G. Hunt dan rekan-rekannya menemukan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka merasa tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri.

Hal ini disebabkan oleh paparan terus-menerus terhadap kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna, yang dapat mendorong perbandingan sosial dan perasaan kurang berharga. ​


Otak manusia secara alami cenderung membandingkan diri dengan orang lain. --Pinterest

BACA JUGA: Generasi Z dan Tren Digital Detoks, Perlunya Jeda dari Media Sosial

Selain itu, penelitian lain yang diterbitkan dalam Current Psychology menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengendalikan penggunaan media sosial dapat meningkatkan gangguan kesejahteraan emosional, yang dimediasi oleh peningkatan stres harian dan penurunan vitalitas subjektif. ​

Dampaknya semakin kuat ketika seseorang tidak menyadari bahwa apa yang terlihat di media sosial hanyalah potongan-potongan terbaik dari kehidupan seseorang, bukan gambaran keseluruhan.

Kategori :