Pertanyaannya, mengapa Kelasi Satu Jumran ogah bertanggung jawab menikahi Juwita? Padahal, ia sebagai anggota TNI-AL sudah terlatih bertanggung jawab. Yang jelas, ia tidak berniat kumpul kebo. Terbukti, ortunya melamar Juwita.
Kumpul kebo cuma dilakukan muda-mudi di negara-negara Barat. Di sana disebut kohabitasi. Istilah itu sudah ada di sana sejak pertengahan abad ke-16 atau sejak 1530. Dan, diterapkan di sana. Istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, cohabitare. Artinya bersama. Lalu, habitare, artinya tinggal.
Dikutip dari The Realization of Marriage Plans among Cohabiting Couples in Scandinavia (2020), karya empat peneliti Norwegia, yakni Turid Noack, Eva Bernhardt, Kenneth Aarskaug Wiik dan Torkild Hovde Lyngstad, disebutkan:
BACA JUGA:Teknik Pembunuhan Mahasiswa di Bogor
BACA JUGA:Pembunuhan Bocah 5 Tahun Akibat Cinta Segitiga: Cemburu Bisa Membunuh
Kohabitasi merupakan pola yang umum di kalangan masyarakat negara-negara Barat. Di Eropa, negara-negara Skandinavia memulai tren itu, kemudian diikuti negara-negara Eropa lainnya.
Di Eropa Mediterania secara tradisional sangat konservatif. Norma agama memainkan peran yang kuat di sana. Hingga pertengahan 1990-an, tingkat kohabitasi tetap rendah di wilayah tersebut. Tetapi, setelah tahun tersebut, jumlahnya kian meningkat.
Misalnya, di Portugal mayoritas anak-anak lahir dari orang tua yang tidak menikah sejak 2015. Pada 2021 tercatat sekitar 60 persen anak yang lahir di sana bukan hasil pernikahan ortu mereka. Melainkan dari kohabitasi.
BACA JUGA:Kunci Inggris di Pembunuhan Vina
BACA JUGA:Investigasi di Pembunuhan Bos Perabot
Secara historis, negara-negara Barat dipengaruhi doktrin Kristen tentang seks, yang menentang hidup bersama tanpa menikah. Karena norma-norma sosial telah berubah, kepercayaan seperti itu menjadi kurang dipegang masyarakat secara luas.
Kemudian, beberapa denominasi Kristen memandang hidup bersama sebagai pendahulu pernikahan. Atau, setengah dibolehkan.
Paus Fransiskus sampai menikahkan pasangan pria-wanita yang sebelumnya hidup bersama dan sudah memiliki anak. Mantan Uskup Agung Canterbury Rowan Williams dan Uskup Agung York John Sentamu menyatakan toleransi terhadap hidup bersama kohabitasi.
BACA JUGA:Pembunuhan Antara Benci dan Kepepet
BACA JUGA:Pembunuhan Sadis di Gresik
Dalam beberapa dekade terakhir, tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan tersedianya alat kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif menyebabkan perempuan mengurangi ketergantungan pada pasangan laki-laki untuk stabilitas keuangan. Dengan begitu, mereka merasa tidak perlu menikah. Tapi, kohabitasi.