Dalam konteks hukum, itu berarti bahwa seorang penegak hukum harus menjalani kehidupan yang bersih dari korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau perilaku tidak etis lainnya.
Konsep itu juga berlaku bagi masyarakat umum. Jika setiap individu berusaha menjalani hidup secara terhormat, sangat mungkin konflik hukum dapat diminimalkan.
Keadilan tidak hanya bergantung pada aturan yang ditegakkan oleh aparat, tetapi juga pada kesadaran setiap individu dalam bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Kedua, alterum non laedere (not to harm another). Keadilan berarti tidak menyakiti orang lain dan menghormati hak-hak mereka. Dalam sistem hukum modern, prinsip itu diterapkan dalam berbagai aspek. Mulai perlindungan hak asasi manusia hingga keadilan dalam transaksi ekonomi.
Sayangnya, masih banyak kasus, hukum digunakan untuk menyakiti atau merugikan pihak lain, baik melalui kebijakan yang diskriminatif maupun putusan hukum yang berpihak pada kelompok tertentu.
Oleh karena itu, keadilan yang sejati hanya dapat tercapai jika semua elemen dalam masyarakat memahami bahwa hukum seharusnya menjadi alat perlindungan, bukan senjata untuk menindas.
Ketiga, suum cuique tribuere (to give each his own). Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang sesuai dengan hak yang dimilikinya dan yang telah disepakati sesuai aturan yang berlaku.
Dalam praktiknya, prinsip itu sering kali diabaikan ketika hukum lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
CICERO DAN HAKIM NICHOLAS MARSHALL
Apa pun itu, keadilan adalah kondisi ideal yang selalu ingin dicapai manusia, terutama ketika berhadapan dengan persoalan hukum. Dalam setiap masyarakat, keadilan menjadi fondasi utama bagi tegaknya kehidupan sosial yang harmonis.
Namun, realitas sering kali menunjukkan bahwa keadilan tidak selalu berjalan seiring dengan aturan hukum yang berlaku. Itulah yang selalu menjadi polemik, Cicero (44 SM) menyatakannya sebagai summum ius, summa iniuria, ’hukum tertinggi bisa menjadi ketidakadilan tertinggi’.
Makin merenung, ingatan melambung ke masa lalu, ketika TVRI menyiarkan miniseri TV Dark Justice (1991–1993) yang diawali dengan ucapan si hakim Nicholas Marshall, dengan pernyataan legendaris –Justice maybe blind, but it can see in the dark.
Meski hanya sebuah karya fiksi, pernyataan tersebut dianggap cukup mewakili perasaan banyak orang ketika keadilan tidak menemukan tempatnya dalam sistem yang ada.
Keadilan bukan hanya soal hukum yang tertulis, melainkan juga soal moralitas dan karakter pribadi mereka yang menegakkannya.
Oleh karena itu, tantangan terbesar dalam sistem hukum kita bukan hanya tentang bagaimana hukum dirancang, melainkan juga tentang bagaimana hukum itu diterapkan oleh mereka yang diberi wewenang untuk menegakkannya.
Tulisan ini pada akhirnya menjadi pengingat bagi kita semua, khususnya bagi para pejabat publik dan pemangku kekuasaan, bahwa keadilan sejati hanya dapat diwujudkan oleh mereka yang memiliki hati nurani dan integritas moral yang tinggi.