Nyekar Menjelang Lebaran: Tradisi yang Terlupakan atau Tradisi yang Harus Diselamatkan?

Kamis 13-03-2025,00:00 WIB
Reporter : Fatikha Mayani*
Editor : Heti Palestina Yunani

HARIAN DISWAY -  Saat nyekar, masyarakat mengunjungi makam para leluhur, kerabat, atau mungkin tokoh yang dihormati. Tujuan nyekar bukan hanya sekadar kegiatan membersihkan makam dan menabur bunga.  Tetapi juga untuk mengirimkan doa, mengenang jasa orang-orang yang telah mendahului kita, serta untuk refleksi spiritual.

Menurut Koentjaraningrat (1984) dalam Kebudayaan Jawa, nyekar adalah kegiatan mengunjungi makam para leluhur dan makam-makam yang dianggap suci. Tradisi nyekar telah menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa.

Maknanya adalah wujud penghormatan dan perenungan spiritual sebelum menjelang Lebaran atau Hari Raya Idulfitri. Namun, di tengah arus modernisasi dan perkembangan zaman yang mengubah persepsi masyarakat tradisi ini mengalami tantangan yang serius. Tradisi nyekar tidak lagi dilakukan sebagian masyarakat modern karena mereka percaya mengirimkan doa kepada para arwah saja sudah cukup.

Pertanyaannya, apakah nyekar akan menjadi tradisi yang terlupakan atau warisan budaya yang harus kita selamatkan?

BACA JUGA: Pembersihan Makam Sebelum Ramadan: Tradisi Nyekar dan Doa untuk Leluhur

Nyekar dalam Konteks Ramadan

Dalam konteks Ramadan, tradisi nyekar menjelang Lebaran memiliki makna khusus dan mendalam. Sebagai perpaduan antara budaya dan agama, nyekar menjadi salah satu momentum penting bagi sebagian besar masyarakat yang bertujuan untuk mempersiapkan diri secara spiritual sebelum menyambut Hari Kemenangan atau Idulfitri.

Tradisi ini juga tidak hanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah mendahului kita dengan mendoakan saat berziarah, akan tetapi juga sarana untuk introspeksi diri dan pembersihan hati.

Nyekar sebelum lebaran dianggap sebagai momen penting untuk merenungkan ibadah selama Ramadhan sekaligus mengingatkan kepada kita hakikat kehidupan dan kematian yang menjadi salah satu bagian penting dari kehidupan yang sedang kita jalani saat ini.

BACA JUGA: Jaga Tradisi, Nyekar Gubernur Pertama

Dengan berziarah, kita dapat belajar merefleksikan kehidupan dunia yang sementara dan mempersiapkan diri menuju kehidupan yang lebih kekal yaitu akhirat. Tradisi ini juga menguatkan mempererat ikatan keluarga, karena dalam momentum nyekar sebagian besar anggota keluarga akan berkumpul untuk ziarah bersama di makam orang-orang yang telah mendahului kita.


Meskipun nyekar menjadi sebuah tradisi yang masih lestari, namun banyak pendapat yang membantah tentang kebenarannya. -Andini Septia-Pinterest

Pada era modern ini, tradisi nyekar yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, tidak terlepas dari berbagai tantangan dan kontroversi yang harus dihadapi. Beberapa masalah yang sering diperdebatkan dan menjadi tantangan bagi eksistensi tradisi ini salah satunya adalah tuduhan bid'ah karena dianggap tidak memiliki aturan dalam Islam, kekhawatiran akan praktik syirik seperti pemujaan pada makam atau membawa sesajen.

Kemudian tantangan lainnya adalah adanya perbedaan pendapat tentang ziarah kubur bagi wanita berdasarkan interpretasi hadits dimana ada beberapa hadist yang memperbolehkan dan tidak bagi wanita untuk berziarah.

BACA JUGA: 10 Destinasi Wisata Religi di Gresik untuk Ziarah saat Libur Lebaran

Selain itu, modernisasi dan globalisasi juga memberikan dampak signifikan terhadap tradisi nyekar. Kedua hal ini membawa pengaruh budaya asing yang secara perlahan mulai menggeser tradisi lokal. Gaya hidup yang serba cepat dan sibuk juga membuat pelaksanaan tradisi ini sulit untuk dilakukan, sementara generasi muda mungkin semakin kurang memahami makna dan nilai di balik tradisi tersebut.

Generasi muda saat ini sering menganggap nyekar sebagai tradisi kuno dan tidak relevan bagi mereka, terutama karena mereka tumbuh di tengah gempuran teknologi. Banyak anak muda yang lebih memilih menghabiskan liburan dengan kegiatan modern seperti bermain gawai atau jalan-jalan ke mall daripada harus melakukan kegiatan ziarah kubur atau nyekar.

Selain itu, adanya komersialisasi seperti seperti jasa pembersihan makam dan penjualan bunga juga dianggap mengurangi nilai spiritual dari tradisi nyekar. Jika fenomena-fenomena tersebut dibiarkan begitu saja, bukan suatu hal yang tidak mungkin jika nyekar menjadi tergeserkan dan menjadi tradisi yang terlupakan akibat perkembangan zaman.

BACA JUGA: Tradisi Ziarah Makam Menjelang Hari Raya

Dengan demikian, kemungkinan besar kita juga akan kehilangan warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur, seperti penghormatan kepada leluhur dan refleksi spiritual dari tradisi nyekar tersebut. Kehilangan tradisi nyekar bukan hanya sekedar kehilangan sebuah ritual keagamaan.

Akan tetapi, kita juga akan kehilangan identitas budaya yang kita miliki. Nyekar adalah salah satu jenis kearifan budaya lokal yang menggabungkan prinsip agama, budaya, dan sosial yang harus diselamatkan. Jika tradisi ini dilupakan, kita juga akan kehilangan sarana untuk mempererat hubungan baik dengan keluarga maupun masyarakat.

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, nyekar akan tetap menjadi tradisi yang harus kita selamatkan. Tradisi ini memiliki nilai-nilai luhur yang penting untuk diwariskan dari generasi ke generasi.

BACA JUGA: Meningkatnya Minat Wisata Religi Lokal: Ziarah ke Makam Wali Jadi Tren Ramadhan

Untuk menghadapi berbagai tantangan dan kontroversi yang ada, diperlukan pemahaman mendalam tentang esensi nyekar, upaya untuk menjaga kemurniannya sesuai ajaran Islam, serta edukasi dan diskusi untuk mencapai pemahaman bersama dalam upaya pelestarian tradisi nyekar dengan cara yang tepat.

Menjaga Warisan Budaya untuk Masa Depan


Untuk tetap menjaga kelestarian budaya dan tradisi nyekar, diperlukan sosialisasi kepada generasi muda di sosial media-Freepik-Pinterest

Untuk menyelamatkan tradisi nyekar yang merupakan bagian dari identitas budaya kita dari berbagai ancaman yang ada, diperlukkan adanya langkah-langkah konkret. Pertama yaitu dengan edukasi dan sosialisasi yang menekankan pada pentingnya tradisi nyekar kepada generasi muda khususnya baik melalui media sosial, kurikulum pendidikan, atau platform digital lainnya yang mudah diakses.

Kedua, diperlukan adanya adaptasi antara tradisi tersebut dengan gaya hidup yang serba modern seperti saat ini, misalnya menyesuaikan waktu nyekar yang fleksibel bagi masyarakat perkotaan.  Langkah berikutnya adalah, perlu adanya revitalisasi nilai spiritual yang ditekankan dengan menghindari praktik-praktik yang mungkin akan menyimpang mungkin dengan adanya kajian tentang makna ziarah kubur.

BACA JUGA: Hukum dan Adab Ziarah Kubur Jelang Ramadan, Jangan Lakukan Perbuatan Terlarang

Kemudian terlibatnya tokoh agama dan masyarakat juga salah satu upaya penting untuk memberikan pemahaman yang benar pada makna dilakukannya Nyekar atau ziarah kubur. Dengan langkah-langkah konkret tersebut sebagai upaya pelestarian tradisi nyekar diharapkan tradisi tersebut tetap relevan dan terjaga eksistensinya tanpa menghilangkan esensi spiritualnya.

Nyekar bukanlah hanya sekedar tradisi tahunan,   nyekar sebelum lebaran adalah warisan budaya yang penuh makna. Tradisi ini menunjukkan kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan kearifan lokal.

Untuk mempertahankan relevansi tradisi ini, upaya pelestarian dan adaptasi harus terus kita lakukan, meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern. Jika kita membiarkan tradisi tersebut terlupakan dan tergeserkan akibat perubahan zaman maka kita juga akan kehilangan sebuah tradisi yang menjadi identitas budaya kita.

BACA JUGA: 5 Doa Ziarah Kubur Sebelum Memasuki Bulan Ramadan 2025

Mari kita berkolaborasi untuk menjaga tradisi nyekar agar tetap terjaga eksistensinya, bukan hanya sebagai warisan dari masa lalu akan tetapi juga sebagai bagian dari masa depan. Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya”. Nyekar adalah salah satu tradisi dan warisan budaya yang patut untuk kita selamatkan dan bukan untuk dilupakan. (*)


Fatikha Mayani--

*) Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

 

Kategori :