Kutipan-kutipan dari Wang Gungwu membantu kita memahami bahwa sejatinya yang merekatkan identitas Asia Tenggara sebagai satu kawasan hanya bertumpu pada shared identity secara historis dan kultural.
Sayang, hal tersebut tidak cukup menjadi perekat di era kompetisi geopolitik saat ini. Dibutuhkan reformasi kelembagaan, visi kepemimpinan yang lebih kolektif, dan penguatan norma integrasi ekonomi-politik agar ASEAN dapat bertahan sebagai entitas yang relevan dan kuat.
Menimbang analisis tersebut, ASEAN harus memilih satu di antara dua opsi untuk tetap eksis di masa depan.
Pertama, bila ASEAN merasa tetap mempertahankan kelemahan itu, cepat atau lambat ASEAN menjadi tidak relevan dengan tuntutan zaman.
Kedua, ASEAN setahap demi setahap bisa bertransformasi menjadi institusi regional yang lebih proaktif dan berani dalam menyelesaikan isu di Asia Tenggara. Bahkan, bila perlu, dirombak menjadi layaknya institusi supranasional demi menanggulangi kelemahan krusial tersebut.
Dengan demikian, tantangan terhadap ASEAN tidak hanya datang dari luar, tetapi justru dari dalam tubuhnya sendiri. Apabila tidak hati-hati, munculnya sikap proteksionisme dan pengabaian semangat kolaborasi regional dapat menggiring organisasi itu ke jurang disintegrasi.
Tentu kita tidak ingin munculnya disintegrasi seperti Brexit dan dikhawatirkan dapat terulang dalam bentuk yang lebih halus di Asia Tenggara. (*)
*) Ilham Baskoro adalah mahasiswa fast track magister kajian sastra dan budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.