Menggagas Integritas sebagai Panglima

Minggu 11-05-2025,04:33 WIB
Oleh: Mohammad Rozi*

Sebaliknya, ketika integritas diragukan, publik menjadi apatis atau bahkan memusuhi pemerintah, yang dapat memicu instabilitas sosial.

Kedua, integritas adalah benteng melawan korupsi. Pejabat yang berintegritas cenderung menolak godaan untuk menyalahgunakan jabatan demi kepentingan pribadi. Sebaliknya, ketika integritas lemah, pintu menuju korupsi, kolusi, dan nepotisme terbuka lebar.

Ketiga, pejabat negara adalah cermin nilai-nilai yang ingin ditegakkan dalam masyarakat. Jika mereka gagal menunjukkan kejujuran, bagaimana mereka bisa mengharapkan rakyat untuk patuh pada hukum atau menjunjung etika? Integritas pejabat adalah investasi dalam budaya kejujuran yang lebih luas.

Keempat, pemerintahan yang dipimpin pejabat berintegritas memiliki legitimasi yang kuat di mata rakyat dan dunia internasional. Legitimasi itu penting untuk menjalankan kebijakan, menarik investasi, dan memperkuat posisi negara di panggung global.

KEMBALI KE NILAI DASAR

Di era media sosial dan informasi instan, integritas pejabat negara diuji lebih keras. Setiap tindakan, pernyataan, bahkan ketidakjelasan seperti kasus ijazah dapat dengan cepat menjadi sorotan publik. 

Sayang, banyak pejabat yang memilih strategi defensif: mengelak, menyalahkan pihak lain, atau membiarkan isu mereda dengan sendirinya. Pendekatan itu justru memperburuk situasi. Sebab, publik modern menuntut transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, tekanan politik dan kepentingan pribadi sering kali menggoda pejabat untuk mengorbankan integritas. Dalam situasi seperti itu, integritas bukanlah pilihan yang mudah, tetapi sebuah keharusan. 

Pejabat yang memilih jalan integritas mungkin menghadapi risiko jangka pendek seperti kritik atau kehilangan dukungan politik. Namun, dalam jangka panjang, mereka akan dihormati sebagai pemimpin sejati.

Untuk mengembalikan integritas sebagai pilar utama, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. 

Pertama, pejabat harus bersedia membuka fakta, bagaimana mereka mengusung kebijakan. Itu menyangkut konsistensi perkataan dengan tindakan. Jangan ”sein kanan, tapi belok kiri”. 

Itu juga termasuk dalam kasus-kasus sederhana seperti keabsahan dokumen. Ketidaktransparanan hanya memicu spekulasi dan ketidakpercayaan.

Kedua, penegakan hukum demi akuntabilitas. Pejabat yang terbukti melanggar integritas, misalnya, harus menghadapi konsekuensi, tanpa pandang bulu. Hukum harus ditegakkan secara adil. 

Ketiga, penegakan kembali nilai-nilai etika. Itu bisa dilakukan apakah lewat pelatihan bagi calon pejabat. Yang lebih praktis adalah memberikan contoh. Itu dimulai pejabat tertinggi. 

Yang terakhir dan tak kalah penting adalah pengawasan publik. Masyarakat dan media harus terus mengawasi dan menuntut integritas dari pejabat. Tekanan publik adalah pengingat bahwa amanah negara bukanlah hak, melainkan tanggung jawab.

Integritas bukanlah barang usang, melainkan kebutuhan mendesak bagi pejabat negara. Seperti yang diajarkan Aesop melalui fabelnya, kepercayaan adalah harta yang sulit dibangun, tetapi mudah dihancurkan. 

Kategori :