SURABAYA, HARIAN DISWAY – Malam Waisak, 12 Mei 2025. Hari suci tersebut dirayakan oleh umat Buddha dengan memanjatkan doa.
Termasuk umat Buddha Maitreya. Mereka berkumpul di Maha Vihara dan Pusdiklat Maitreya, Surabaya. Melakukan prosesi Bagi Puja, sembahyang khidmat dalam sujud dan doa.
Waisak dalam kepercayaan Buddha adalah hari kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Buddha Gautama. Tiga peristiwa besar dalam satu malam suci. Tapi bagi umat Maitreya, malam itu sekaligus bermakna sebagai panggilan untuk menyucikan hati.
Satu per satu umat datang. Dengan pakaian rapi, berselendang putih atau kuning. Ada yang membawa dupa dan bunga.
Para Jemaat Budha melakukan ibadah waisak di Vihara Maitraya Surabaya- 12_5_2025. -Alfi Kirom-HARIAN DISWAY
Sebelum memasuki ruang utama, umat terlebih dahulu bersujud di depan altar. Di ruang itulah patung Buddha berdiri. Mereka memulai prosesi Bagi Puja.
Laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Laki-laki di sisi kanan ruangan, perempuan di sisi kiri. Pemisahan itu bukan untuk membatasi. Tapi sebagai bentuk penghormatan pada keteraturan spiritual.
Bagi Puja adalah ibadah rutin yang dilakukan menjelang hari besar. Serangkaian doa dilantunkan. Prosesi sujud dilakukan berkali-kali. Dupa menyala perlahan. Asapnya naik seperti mengantar doa-doa ke langit.
BACA JUGA:Menteri Agama RI Sampaikan Ucapan Selamat Hari Raya Waisak Untuk Umat Buddha di Seluruh Indonesia
Secara astronomis, detik puncak Waisak jatuh pada pukul 23.55 lewat 29 detik. Tapi malam itu, waktunya dimajukan. “Terlalu larut,” kata Maha Pandita Jemmy Cendrawan. Maka, ritual utama digelar pukul 19.14 WIB.
Di momen itu, seluruh umat hening. Lampu diredupkan. Musik mulai mengalun. Lagu Malam Waisak dilantunkan. Itu merupakan lagu yang dinyanyikan oleh Krisdayanti untuk umat Maitreya.
Setelah nyanyian usai, Maha Pandita Jemmy naik ke altar. Ia memimpin prosesi mengheningkan cipta. Setelah itu memaparkan tentang Tri Suci Waisak. Yakni tiga tonggak penting dalam kehidupan Buddha Gautama: lahir, tercerahkan, dan wafat.
BACA JUGA:Buddha Maitreya, Menapaki Jalan Pencerahan dengan Semangat Welas Asih
"Buddha Gautama bukan dewa. Tapi manusia biasa yang berhasil menang atas nafsu dan ego," katanya. Ritual berikutnya adalah memandikan rupang Buddha Terdapat tahapan-tahapan khusus untuk memandikan rupang tersebut.
Masing-masing umat diberikan bunga sedap malam. Tangkainya panjang, putih, dan harum. Sebagai lambang kesucian dan ketulusan.
Air disiapkan di dalam mangkuk besar. Di dalamnya terdapat tujuh jenis bunga. Setiap bunga mewakili harapan dan doa.
BACA JUGA:Nichiren Shoshu, Aliran Buddha dari Jepang, Jalan Pencerahan di Tengah Kehidupan Modern
Pesembahan bunga dilakukan oleh para jemaat pada Perayaan Waisak di Vihara Maitraya Surabaya- 12_5_2025.-Alfi Kirom-HARIAN DISWAY
Satu per satu umat maju. Mereka mengambil air dengan gayung kecil. Lalu menuangkannya ke leher patung Buddha. Hanya di leher. Tidak di kepala.
Sebab, kepala adalah bagian paling suci. Tidak boleh diguyur sembarangan. Ritual itu mengajarkan untuk menghormati Buddha sebagai tokoh spiritual.
Umat melakukannya perlahan dan dengan sangat hati-hati. "Memandikan rupang Buddha Gautama merupakan simbol pembersihan diri juga. Supaya umat senantiasa hidup di jalan yang terang. Jalan Para Suci dan Budha," jelas Maha Pandita Jemmy.
BACA JUGA: Menag Nasaruddin Umar: Waisak Momentum Menanamkan Kebajikan dan Wujudkan Perdamaian Dunia
Setelah usai, acara ditutup dengan pembagian apel dan air berkat. Apel sebagai lambang kesehatan dan kedamaian. Air sebagai simbol keberkahan dan kehidupan baru.
Waisak dimaknai bukan saja sebagai perayaan. Namun, bagaimana tiap manusia dapat kembali pada dirinya. Introspeksi, menyucikan hati.
Sekaligus mengingat bahwa dalam dunia yang gaduh ini, sesungguhnya kedamaian selalu ada. Itu jika kita mau diam sejenak dan mendengarkannya. (*)