Miskin, tapi Paling Sejahtera

Rabu 14-05-2025,06:33 WIB
Reporter : Imron Mawardi*
Editor : Yusuf Ridho

Kemungkinan pendidikan hanya menjadi faktor yang menentukan terhadap pekerjaan, yang mana pekerjaan dan wirausaha sangat menentukan kesejahteraan. 

Begitu juga, responden yang menikah jauh lebih sejahtera (7,34) daripada yang tidak (6,77) atau bercerai (6,85). Selain itu, faktor usia menunjukkan adanya hubungan dengan kesejahteraan, yang mana bertambahnya usia diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.

Bagi umat beragama, kesejahteraan memang bukan sekadar persoalan finansial dan kecukupan terhadap kebutuhan fisik: sandang, pangan, dan papan. Islam, misalnya, mendefinisikan kesejahteraan dengan terpenuhinya kebahagiaan di dunia dan akhirat yang terefleksikan dalam lima kebutuhan dasar (adh-dharuriyatul khamsah). 

Lima kebutuhan dasar manusia itu juga, menurut Asy-Syatibi dan Al-Ghazali, sebagai tujuan syariah (maqashid asy-syariah). Yaitu, terlindunginya agama (dien), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan dan kehormatan (nasl), serta harta (maal). 

Terlindungi agamanya bisa direpresentasikan adanya kebebasan menjalankan agama dengan baik, tersedianya waktu dan tempat, serta tidak adanya tekanan menjalankan keyakinan agamanya. Secara sederhana, kita tidak akan bisa bahagia meski punya pendapatan tinggi, tetapi sulit untuk bisa menjalankan salat atau izin haji dan umrah. 

Perlindungan terhadap jiwa bisa direpresentasikan dengan adanya jaminan kesehatan oleh negara. Adanya BPJS, meski masyarakat harus membayar sendiri, bisa sedikit memberikan jaminan kesehatan tersebut. 

Sementara itu, perlindungan akal bisa diwujudkan dengan adanya jaminan pendidikan bagi warga negara. Pendidikan berkualitas, tapi murah, bisa memberikan rasa sejahtera bagi masyarakat. Perlindungan keturunan dan kehormatan dapat diwujudkan dengan adanya jaminan ibu hamil dan menyusui. 

Selain itu, perlindungan harta dapat direpresentasikan dengan adanya lapangan kerja yang cukup, jaminan gaji yang baik, dan perlindungan hukum terhadap pencurian, permapokan, dan korupsi. 

Perlindungan terhadap harta itu menjadi sangat penting karena akan menjadi faktor yang menentukan pemenuhan terhadap terlindunginya agama, jiwa, akal, dan keturunan-kehormatan. 

Yang jelas, kesejahteraan bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan yang direfleksikan dengan pendapatan yang cukup (finansial). Apalagi, bagi umat beragama, agama menjadi salah satu kunci kebahagiaan. 

Karena itu, penelitian Harvard tentang kemakmuran atau kesejahteraan itu lebih merepresentasikan pada kesejahteraan yang sebenarnya. Meski banyak yang miskin finansial –terlihat dari pendapatan per kapita yang rendah– mereka tetap bisa sejahtera, lahir dan batin. Wallahu a’lam. (*) 

*) Imron Mawardi adalah Guru besar pada Departemen  Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.

 

Kategori :