HARIAN DISWAY – Laut utara menggelegak. Darah dan salju bercampur menjadi satu. Anak-anak tumbuh cepat di medan perang. Disitulah Vinland Saga menancapkan awal ceritanya.
Vinland Saga merupakan anime yang bukan sekadar kisah petualangan Viking. Tapi juga perjalanan jiwa seorang manusia yang kehilangan arah. Lalu perlahan mencari cahaya dalam dirinya sendiri.
Anime Vinland Saga pertama kali tayang pada 2019, diadaptasi dari manga karya Makoto Yukimura. Studio Wit yang sebelumnya menangani Attack on Titan, menggarap musim pertamanya. Sementara Vinland Saga season dua digarap oleh Studio MAPPA.
BACA JUGA:5 Anime Paling Dinanti yang Tayang April 2025
Namun, bukan animasi atau adegan berkelahi yang menjadikan serial itu istimewa. Vinland Saga berbeda karena keberaniannya menyelami batin manusia, membedah luka, dendam, hingga pertobatan.
Thorfinn di masa lalu adalah sosok pendendam dan pemarah. Sejak ia menjadi budak, Thorfinn memahami bagaimana menjadi manusia seutuhnya. --otakunotes
Tokoh utamanya adalah pemuda bernama Thorfinn. Ia bukan pahlawan ideal. Bukan juga penyelamat dunia.
Ia hanyalah anak yang tumbuh di dunia yang kejam. Pun, meyakini bahwa satu-satunya arti hidup adalah membalas dendam.
BACA JUGA:5 Villain Anime Paling Jahat Sepanjang Masa
Tapi seiring waktu, Thorfinn menjadi simbol dari pertanyaan eksistensial: untuk apa manusia hidup jika bukan untuk membunuh atau dibunuh?
Thorfinn adalah anak dari Thors, seorang mantan pejuang Viking legendaris yang memilih meninggalkan perang demi hidup damai.
Namun, kedamaian itu hancur saat Thors terbunuh oleh perangkap yang dibuat Askeladd, pembunuh bayaran yang licik.
BACA JUGA:Trailer Anime Devil May Cry Sajikan Aksi Dante, Vergil dan Lady
Sejak itulah hidup Thorfinn berubah. Ia menyusup ke kelompok Askeladd. Bukan untuk menjadi murid, tapi agar suatu hari bisa menantangnya dalam duel. Kemudian membalas dendam atas kematian ayahnya.
Tapi Askeladd tak mudah dibunuh. Dan Thorfinn pun perlahan menjadi penjahat perang. Ia tumbuh besar dengan membunuh demi mendapatkan hak duel itu.
Musim pertama Vinland Saga adalah tentang kemarahan. Tentang bagaimana balas dendam menggerogoti manusia dari dalam.
BACA JUGA:Moonrise, Anime Baru Wit Studio Tayang 10 April di Netflix
Juga tentang Thorfinn yang kehilangan masa kecil, kehilangan dirinya, dan tak sadar bahwa saat orang yang ia benci akhirnya mati, ia justru kehilangan makna hidupnya.
Musim kedua menjadi kontras total. Tidak ada lagi pertarungan epik atau darah mengalir deras. Thorfinn menjadi budak di ladang. Ia kehilangan kekuatan, kehilangan harga diri, dan lebih penting lagi: kehilangan alasan untuk hidup.
Namun, di situlah momen penting terjadi. Thorfinn mulai menata ulang hidupnya. Ia merenung, menyesal, bahkan memimpikan wajah-wajah orang yang telah ia bunuh.
BACA JUGA:Rekomendasi 5 Anime untuk Ngabuburit, dari Super Cub hingga Kino’s Journey
Bersama Einar, sesama budak yang berhati lembut, Thorfinn mulai belajar untuk hidup tanpa kebencian. Ia ingin menebus dosanya. Ingin menciptakan dunia yang tak mengenal perbudakan, kekerasan, atau peperangan. Dunia itu ia sebut Vinland.
Perubahan itu tak datang instan. Tapi perlahan, Thorfinn mulai menerima bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup.
Bahwa luka tidak harus dibalas luka. Bahwa manusia bisa memilih—untuk tidak membalas, untuk tidak membenci, untuk tidak menjadi monster yang sama seperti musuhnya.
BACA JUGA:Anime Hotel Inhumans Siap Tayang Juli, Kisah Hotel yang Melayani Para Pembunuh Bayaran
Menariknya, perjalanan Thorfinn seolah menggambarkan filosofi hidup Stoic yang berasal dari Yunani kuno. Para filsuf Stoik seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius mengajarkan bahwa manusia harus menerima kenyataan dengan tenang. Tidak dikuasai emosi dan fokus pada hal-hal yang bisa ia kendalikan.
Apa yang dialami Thorfinn adalah bentuk nyata dari prinsip itu. Dulu, ia dikuasai oleh kemarahan—emosi yang tidak pernah bisa ia kendalikan. Ia mengejar pembalasan, sesuatu yang sebenarnya berada di luar kendalinya, karena hidup dan mati bukan sepenuhnya di tangan kita.
Namun, setelah menjadi budak dan kehilangan segalanya, Thorfinn mulai menerima realitas. Ia tak lagi marah pada masa lalu. Ia tak ingin lagi membunuh. Bahkan saat musuhnya berdiri di depannya.
BACA JUGA:Utahime Dream Akan Diadaptasi Menjadi Anime, Tampilkan Persaingan Utahime dalam Lagu dan Pertunjukan
“Aku tak punya musuh,” katanya pada salah satu momen paling menyayat hati. Itulah kalimat seorang Stoik sejati. Ia menerima dunia sebagaimana adanya dan memilih untuk tidak bereaksi secara destruktif.
Stoisisme bukan berarti pasrah. Tapi justru kebalikannya: mengambil kendali atas hidup dengan membatasi diri dari amarah, dendam, dan nafsu balas budi.
Thorfinn, yang dahulu adalah anak dari dunia kekerasan, kini menjadi cermin dari ajaran itu. Ia tahu bahwa luka tidak bisa dihapus. Tapi ia juga tahu bahwa luka tidak harus diwariskan.
BACA JUGA:5 Rekomendasi Anime Menunggu Waktu Berbuka selama Ramadan
Thorfinn mengajarkan bahwa pertumbuhan sejati tidak selalu datang dari kemenangan. Tapi dari keheningan dan refleksi.
Bahwa membangun dunia yang damai dimulai dari keberanian untuk tidak membalas. Dalam dunia yang penuh kebencian, ia memilih menjadi tanah yang menyerap darah, bukan pedang yang terus menumpahkannya.
Dalam dirinya, kita melihat paradoks manusia. Bahwa orang yang paling terluka bisa menjadi penyembuh. Bahwa anak dari perang bisa menjadi pencipta damai.
BACA JUGA:Adaptasi Anime Ninja vs Gokudo, Kisah Perang Ninja dan Yakuza di Tokyo Modern
Makoto Yukimura pernah berkata bahwa Vinland Saga bukan cerita tentang Viking. Tapi tentang manusia. Tentang harapan yang lahir bahkan dari lumpur dan darah. Dan melalui Thorfinn, kita diingatkan bahwa jalan sunyi kadang lebih kuat dari teriakan perang. (*)