Menulis adalah kehidupan terbaik Agus Dermawan. Tak ada yang lebih seberharga itu untuknya. Hingga usianya menginjak 73 tahun pada 2025 ini, Agus tetap produktif menulis buku-buku kebudayaan. Namanya juga tercatat sebagai kritikus seni yang mumpuni. Atas semua kemonceraan itu, Agus sangat berterima kasih pada satu sosok; ayahnya. Tan Ik Khoen. Seorang Tionghoa.
Tahu anaknya suka menulis, ayah Aguslah yang menyarankan agar ia terus dan terus menulis dengan pikiran jernih. Sedikit-sedikit pasti akan berhasil dan menjadi suatu hal yang luar biasa (积小致巨 jī xiǎo zhì jù). Berangkai dengan petuah tersebut, ada ungkapan Tiongkok kuno yang didengar Agus dari ayahnya. “Jangan takut tumbuh perlahan, tapi takutlah jika kamu hanya berdiri diam (不怕慢,就怕站 bù pà màn, jiù pà zhàn). Dan jangan takut kamu tidak bekerja sempurna. Karena yang sempurna hanyalah mereka yang sudah mati, dan mereka yang belum lahir.”
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Darmin Pemegang Rekor Muri Bidang Pasar Modal: Ke Ku Nai Lao
”Saya tercenung membacanya. Sejak itu saya produktif menulis dengan berusaha jernih untuk berbagai surat kabar dan buku. Sampai 2025, ada sekitar 4 ribu judul tulisan saya yang dimuat di berbagai media massa dan 45 buku saya tulis. Pencapaian saya ini tak lepas dari peran Ayah,” kata penerima Anugerah Budaya Adikara Cipta Budaya dari Sri Sultan Hamengku Buwono X itu.
Hingga menjadi Agus yang sekarang, pengaruh Tan Ik Khoen sangat dominan. Banyak pesannya yang terdengar dahsyat di telinga. ”Kata beliau, menjalani pekerjaan itu harus santai dan bergembira. Tidak boleh ngoyo. Itu sesuai ungkapan Tiongkok lama: ’Makin banyak kamu berkeringat dalam latihan, makin sedikit kamu berdarah dalam pertempuran’ (平时多流汗,战时少流血 píng shí duō liú hàn, zhàn shí shǎo liú xuè),” kata laki-laki yang disebut sebagai “Raja Penulis Seni Indonesia” itu.
Sebagai anak seorang aktivis sosial, Agus tertempa sebagai aktivis pula. Semasa kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, ASRI, Yogyakarta, Agus menjadi pengurus Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, sampai mengasuh majalah kampus. ”Saya juga aktif menstimulasi lahirnya pikiran-pikiran baru dalam kebudayaan dengan menulis banyak artikel yang merangsang pemikiran,” katanya.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Syanne Helly Kepala Litbang Sekolah Xin Zhong, Surabaya: Jing Tian Ai Min
Celakanya, pada 1970-an kemunculan pikiran-pikiran baru dari Agus muda itu sering diartikan sebagai “perlawanan” terhadap pikiran orang tua. “Ketika pemikiran kebudayaan muda sampai ke wilayah ke ranah kebijakan negara (yang dipimpin oleh orang tua), pemikiran anak muda itu dianggap sebagai “awal dari subversi budaya,” paparnya.
Ujungnya, Agus terkena tuduhan ”subversi budaya”. Ia bahkan dikeluarkan dari ASRI hingga membawanya pindah ke Jakarta. ”Di Jakarta saya melapor kepada Ayah. Dalam surat saya ungkapkan rasa marah kepada para petinggi kampus. Para dosen dan rektor itu berpikiran sangat keliru. Mereka tidak seharusnya mengeluarkan saya,” kata pria kelahiran di Rogojampi, Banyuwangi, 29 April 1952 itu, protea.
Tapi lagi-lagi Agus mengingat petuah ayahnya yang tercatat sebagai pengurus Kelenteng Tan Hoo Tjin Djin di Rogojampi. “Dalam surat balasan, Ayah menulis ungkapan Tiongkok kuno yang terjemahannya demikian: ’Orang yang menyalahkan orang lain, akan menempuh perjalanan tak berujung. Orang yang menyalahkan diri sendiri sudah menempuh setengah dari tujuan. Sementara orang yang tidak menyalahkan siapa pun, sesungguhnya ia sudah sampai’ (君子不怨天,不尤人 jūn zǐ bù yuàn tiān, bù yóu rén). Pesan Ayah itu membuat saya selalu tenang ketika menemui kesulitan apa pun,” tegasnya.