Lampu sorot menyala, musik diputar, dan dunia terasa berhenti sejenak. Itulah yang kurasakan saat pertama kali meliput peragaan busana.
Aku berdiri di sisi runway, di antara jurnalis dan fotografer—bukan di kursi undangan barisan depan, tempat para influencer dan tamu kehormatan duduk.
Tapi justru dari sanalah aku melihat semuanya dengan lebih jernih. Gaun demi gaun melintas di depan mata. Flash kamera menyala. Dan aku mencatat—bukan hanya apa yang terlihat, tapi juga apa yang terasa.
Di balik liputan yang terlihat glamor, hidup magangku di Jakarta sangat sederhana. Aku kos di gang kecil dekat kantor Femina.
Setiap pagi, aku dijemput Pak Ojek langganan—yang hafal jalan tikus Jakarta lebih baik dari Google Maps. Kadang kami ngobrol soal cuaca, kadang hanya diam berdua menembus macet jam tujuh pagi.
Aku ingat ada satu meja di kantor selalu penuh dengan setumpuk press release dan undangan event.
Setiap jurnalis akan dipilihkan atau memilih sendiri acara mana yang akan diliput minggu itu.
Aku bersyukur dapat kesempatan datang ke beberapa event dan menyaksikan langsung koleksi para desainer Indonesia.
Sapto Djojokartiko dengan bordir halusnya, Didiet Maulana dengan interpretasi modern kain tradisional, Sebastian Gunawan dengan koleksi bertajuk Moon Dance. Rasanya seperti menyaksikan puisi yang dijahit.
Aku juga sempat menghadiri exhibition karya Didi Budiardjo berjudul Pilgrimage di Museum Tekstil Tanah Abang. Di salah satu dinding tertulis: "Fashion is my beating heart."
Aku terdiam lama di depan satu gaun putih dengan bordir bunga yang rumit—dibuat oleh 20 perempuan dalam waktu dua bulan.
Tapi nggak semua assignment terasa menyenangkan. Ada juga acara-acara PR yang jujur saja membuatku kurang nyaman—seperti diskusi tentang botox, peluncuran luxury candle home decor, atau trunk show perhiasan.
Acara yang dipenuhi para socialite sering terasa sangat elitis. Kadang aku mencatat hasil wawancara sambil bertanya dalam hati: apa ini benar-benar penting untuk ditulis?
Aku masih ingat makan siang bareng anak kantor. Tasnya Prada, dompetnya Louis Vuitton—tapi giliran bayar, minjem dua puluh ribu buat beli nasi goreng.
Dunia mode memang cantik, tapi juga penuh ironi.