Meme dan Negara yang Serius

Minggu 18-05-2025,22:32 WIB
Oleh: Ulul Albab*

BACA JUGA:Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi Ditangkap, Istana Sebut Lebih Baik Dibina

BACA JUGA:Trulimero Trulicina, Karakter Ikonik dalam Fenomena Meme Italian Brainrot

***

Tentu dan pasti, tidak semua ekspresi bisa dibenarkan. Kita perlu mengingatkan generasi muda juga: medsos bukan ruang bebas nilai. Ada tanggung jawab, ada etika.

Tapi, pendekatan terhadap kasus-kasus seperti itu semestinya bukan langsung pidana. Apalagi, untuk seorang mahasiswa. Ada banyak jalan restoratif. Bisa dimediasi, diberi pemahaman, bukan diberi vonis.

Kasus tersebut mengingatkan kita pada masa-masa gelap Undang-Undang ITE yang sering disebut ”pasal karet”. Sudah banyak korban. Sudah banyak janji revisi. Tapi, tetap saja, diulang lagi. Dan, kali ini sasarannya: anak kampus.

BACA JUGA: U Din Din Din Din Dun: Fenomena Meme Absurd dari Indonesia

BACA JUGA:Boneca Ambalabu: Fenomena Meme Horor Absurd dari Indonesia

***

Negara yang sehat tidak takut pada kritik. Justru negara yang besar adalah yang bisa menampung suara-suara kecil, termasuk yang datang dalam bentuk meme.

Di Amerika Serikat, acara TV seperti Saturday Night Live rutin menyindir presidennya sendiri, tanpa harus dipenjara. Di Prancis, majalah Charlie Hebdo bahkan menjadikan satire sebagai budaya jurnalistik.

Kita memang bukan Amerika Serikat. Juga, bukan Prancis. Tapi, jika ingin jadi negara demokratis, kita bisa belajar.

***

Saya percaya, negara ini tidak kekurangan akal sehat. Kita punya aparat yang bijak. Kita punya pemerintah yang (semoga) bisa tersenyum meski dikritik.

Kita jug punya generasi muda yang sedang belajar bicara. Kadang suaranya sumbang. Tapi, itu lebih baik daripada diam.

Biarkan mereka tumbuh. Jangan patahkan mereka hanya karena satu unggahan.

***

Karena pada akhirnya, negara yang kuat tidak ditentukan seberapa banyak meme yang dihapus. Tapi, oleh seberapa besar hatinya menampung perbedaan.

Yang juga perlu dipertimbangkan adalah memaafkan dengan memberikan pelajaran. Menjadi pemimpin yang pemaaf tidak berarti lemah. Justru di sanalah letak kemuliaan sejati.

Memaafkan kritik, memberikan ruang klarifikasi, bahkan menahan diri untuk tidak membalas, itu bukan kelemahan. Itu keagungan.

Kategori :