Risiko Konsumsi Berlebihan di Dunia Thrift

Kamis 22-05-2025,13:00 WIB
Reporter : Ivo Irvansyah*
Editor : Guruh Dimas Nugraha

HARIAN DISWAY - Fenomena thrifting kini sudah mulai menjamur di berbagai kota. Mulai dari lapak kaki lima hingga toko online, produk thrift menjadi pilihan favorit di kalangan anak muda terutama Gen Z.

Selain harga yang lebih terjangkau, pakaian thrift juga dianggap lebih ramah lingkungan. Karena memperpanjang siklus hidup sebuah produk.

Namun, di balik tren itu, overconsumption atau konsumsi berlebihan menjadi hal yang cukup dikhawatirkan.

BACA JUGA:3 Risiko Thrifting Mulai Kesehatan sampai Hukum

Di awal kemunculannya, budaya thrift lekat dengan nilai keberlanjutan. Membeli pakaian bekas dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap industri fast fashion yang boros sumber daya. Juga tidak ramah lingkungan.

Namun seiring dengan lonjakan popularitas, esensi utama thrifting mulai bergeser. Konsumen tidak lagi membeli karena kebutuhan. Melainkan tergoda oleh tren outfit dan harga murah.

Namun, apakah membeli pakaian bekas secara berlebihan tetap bisa dikategorikan sebagai tindakan ramah lingkungan?

BACA JUGA:Tip Thrifting dengan Aman dan Higienis


Dengan harga yang terjangkau kita bisa mendapatkan baju dengan fashion brand ternama, namun apakah thrifting bisa menjadi pilihan utama dalam belanja baju?-Milo Mode-x.com

Faktanya, konsumsi tetaplah konsumsi, meskipun barang yang dibeli adalah bekas. Ketika seseorang membeli banyak pakaian thrift hanya karena harganya murah, maka ia tetap berkontribusi terhadap penumpukan limbah tekstil di masa depan.

Menurut laporan dari Global Fashion Agenda, produksi pakaian global meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir.

Meski thrift menawarkan solusi alternatif, perilaku konsumtif yang berkepanjangan hanya akan memunculkan sebuah masalah baru.

BACA JUGA:Thrifting, Tren Baru yang Mampu Kurangi Limbah Tekstil

Alih-alih membeli pakaian baru, konsumen kini lebih memilih menumpuk pakaian bekas di lemari mereka. Yang mungkin akhirnya juga dibuang.

Selain itu, meningkatnya permintaan pasar terhadap barang secondhand itu justru mendorong terjadinya "thrift gentrification".

Itu merupakan sebuah fenomena ketika harga pakaian bekas melonjak drastis akibat diburu oleh pasar kelas menengah dan atas.

BACA JUGA:Dahlan Iskan dan Ai Meifang Senam Bersama Pada Hari Terakhir Thrift Market Harian Disway X ARTi 2.0

Akibatnya, yang sebelumnya masyarakat berpenghasilan minim bergantung pada pakaian bekas dengan harga terjangkau, kini mereka menjadi kesulitan untuk membeli. Itulah salah satu ironi dari tren konsumsi yang berawal dari semangat inklusivitas.

Tak hanya itu, besarnya praktik impor pakaian bekas dari negara maju ke negara berkembang juga menimbulkan dilema.

Banyak pakaian yang dikirim dalam kondisi rusak atau tak layak pakai. Menjadikan negara tujuan sebagai tempat pembuangan limbah tekstil global.

BACA JUGA:Hari Terakhir Thrift Market Harian Disway x ARTi Flash Sale Bikin Seru!

Hal itu tentu bertentangan dengan semangat ramah lingkungan yang selama ini dikaitkan dengan budaya thrift.


Penumpukan limbah tekstil di Gurun Atacama, Chili-Martin Bernetti-AFP

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi tren itu?

Solusinya bukan berhenti membeli pakaian bekas. Melainkan lebih bijak dalam berbelanja. Prinsip utama dari konsumerisme keberlanjutan adalah kesadaran akan kebutuhan. Belilah hanya jika kita memang memerlukannya, dan prioritaskan kualitas daripada kuantitas.

BACA JUGA:Bloke Core, Streetwear Ala Pemuda Inggris yang Kembali Populer di Kalangan Gen Z

Selain itu, cobalah untuk belajar memperbaiki, merawat, dan mengombinasikan pakaian yang sudah dimiliki. Hal itulah yang nantinya bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi konsumsi.

Di tengah krisis iklim dan limbah yang semakin meningkat, penting bagi konsumen untuk tidak hanya fokus pada harga atau tren. Tetapi juga pada dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil.

Thrift seharusnya bukan sekadar alternatif barang murah. Melainkan bagian dari gaya hidup yang lebih sadar akan tanggung jawab.

BACA JUGA:10 Item Pakaian yang Wajib Ada di Lemari

Dengan demikian, pakaian bekas seharusnya tidak menjadi "masalah baru" jika dikonsumsi dengan cara yang benar.

Kuncinya terletak pada kesadaran. Bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang apa yang kita beli. Tetapi juga seberapa banyak dan apa tujuan kita membelinya. (*)

*) Mahasiswa magang dari prodi Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya.

Kategori :