Jangan disamakan munculnya fenomena premanisme sekarang sama dengan keberadaan para preman di era konvensional yang berpenampilan lusuh dari ruang gelap terminal angkutan kota dan stasiun.
Preman era milenial kini hadir dalam kemasan yang berbeda. Mereka tampil dalam wujud organisasi terstruktur dengan jargon memperjuangkan ”aspirasi” rakyat yang tertindas.
Ironisnya, sebagian mengeklaim mendapat legitimasi sosial, padahal bertindak di luar koridor hukum dan peraturan yang berlaku.
Aksi kekerangan geng yang menyamar konflik lahan dan industri tak ubahnya adegan film gangster, mengindikasikan adanya gap antara pendekatan penegakan hukum dan kenyataan di lapangan.
Di sini teori kontrol sosial Travis Hirschi relevan, bahwa absennya keterikatan pada nilai hukum dan institusi negara memicu tindakan brutal (Travis Hirschi, 1969).
Teori itu menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dan lingkungan sosial dalam mencegah kejahatan. Jika seseorang memiliki ikatan sosial yang kuat, mereka lebih cenderung menaati norma dan menghindari tindakan menyimpang.
Aksi premanisme yang merembet ke sektor industri memiliki dampak sistemik, bukan hanya bagi keamanan lokal, melainkan juga terhadap kepercayaan investor. Dalam teori investasi modal industri, kepercayaan adalah modal awal. Ketika rasa aman terganggu dan prediktabilitas hukum dipertanyakan, risiko investasi melonjak drastis.
Premanisme yang menyasar kawasan industri bukan lagi fenomena kelas recehan, melainkan telah masuk ke jantung ekonomi produktif. Sejumlah pelaku industri melaporkan adanya pungutan liar, intimidasi terhadap buruh, bahkan pemaksaan alih kontrak keamanan oleh kelompok tertentu.
Itu bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan sabotase ekonomi dalam bentuk baru. Menyadari akan hal itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah mengambil langkah cepat melalui pembentukan Satgas Pemberantasan Premanisme di 27 kabupaten/kota.
Itu langkah penting, tetapi tidak cukup jika tak didukung reformasi penegakan hukum, penguatan komunitas industri, dan pelembagaan sanksi terhadap ormas pelanggar hukum, tetapi juga diiringi dengan langkah taktis di lapangan guna meredam agresivitas para preman berbaju ormas yang sudah sangat meresahkan iklim industri di negeri ini.
Ketika organisasi sipil menyimpang dari kerangka legal dan mengambil peran secara koersif, negara harus hadir dan wajib bertindak. Jika tidak, prinsip supremasi hukum menjadi retoris semata.
Investasi memerlukan ekosistem hukum dan regulasi yang ramah investor yang berjalan secara konsisten. Setiap bentuk gangguan terhadap aset industri memicu keinginan investor untuk mempertimbangkan relokasi investasi dan bisnisnya.
Itu sejalan dengan teori risiko investasi, bahwa ketidakstabilan politik dan sosial menjadi penentu utama dalam pemetaan kelayakan kawasan. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrerpreneurship & Leadership dan kandidat doktor di school of leadership Universitas Airlangga.