Fase Baru Langkah ALIT Indonesia Ciptakan Kesetaraan Hak Anak

Selasa 10-06-2025,15:30 WIB
Reporter : Susi Laksmita Pratiwi*
Editor : Heti Palestina Yunani

Pergerakan para aktivis ALIT Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak menunjukkan eksistensi utama organisasi ini yakni “mencermati akar penyebab situasi ketidakadilan” yang berada di sekeliling anak-anak.

Beragam isu di tingkat “micro” terkecil anak-anak menjadi perhatian utama dimana telaah atas situasi itu ditemukan kesamaan pola. Hal ini yang menjadi dasar ALIT merumuskan langkah strategis membangun perubahan ke arah “equality” atau kesetaraan hak bagi anak-anak.

BACA JUGA: Sensory Play, Cara Seru Membangun Kedekatan Orang Tua dan Anak di Rumah

Dengan dukungan luas tersebut, ALIT tetap fokus pada upaya menganalisis akar dari ketidakadilan yang dialami anak-anak. Dari berbagai isu di tingkat mikro, ALIT menemukan pola berulang yang menunjukkan pentingnya pendekatan sistematis dan terarah demi membangun kesetaraan hak anak-anak.

Program-program ALIT juga dinilai efektif karena memiliki karakter SMART (specific, measurable, achievable, rational, timebound), sehingga mampu menarik dukungan dari para sponsor.


Kegiatan Rakernas ALIT 2025 jadi momentum strategis memperkuat manajemen organisasi dan arah gerakan menuju “EQUALITY FOR ALL CHILDREN”.--Yayasan ALIT Indonesia

Berbagai program telah dilaksanakan, meliputi kerja sama dengan Polri untuk anak berhadapan dengan hukum (2004–2006), layanan kesehatan gratis (2000–2008), program PAUD di pengungsian (2005–2008), pendidikan keterampilan hidup bagi remaja putus sekolah (2006–2015), program olahraga anak (2012–2019), dan perlindungan remaja dari eksploitasi seksual di sektor pariwisata (2019–2021).

BACA JUGA: 4 Dampak Fatherless terhadap Anak Perempuan dan 3 Solusi Mengatasinya

Selain itu, program berbasis budaya 'Dewa Dewi Rama Daya' (2021–2024) juga mendorong lahirnya komunitas wirausaha muda berbasis desa dan membangun jaringan pemasaran dari remaja desa ke berbagai kota dan negara, sekaligus menjawab persoalan kerusakan lingkungan dan pengangguran di kalangan usia muda yang mengancam kehidupan sosial anak remaja di masa depan.

Pada tahun 2025, ALIT melakukan evaluasi melalui baseline survey di delapan wilayah (Surabaya, Pasuruan, Jember, Banyuwangi, Sumenep, Gianyar, Sikka, dan Batu). Hasilnya cukup memprihatinkan: 70% dari 1.500 anak SD tidak mendapatkan sarapan layak, sebagian besar hanya mengandalkan uang jajan.

Anak-anak usia dini juga jarang menikmati masakan orang tuanya, sebab kedua orang tua bekerja. Mayoritas keluarga menggunakan penyedap sintetis dan memilih makanan instan. Pengetahuan anak-anak tentang bahan pangan sehat sangat minim, dan banyak orang tua (usia 25–45 tahun) pun tidak mengenal bahan pangan berbasis rempah dan sayur.

BACA JUGA: Dampak Keluarga Broken Home terhadap Anak dan Strategi yang Dapat Dilakukan

Data ini sejalan dengan laporan RSCM Jakarta yang menyebutkan 1 dari 5 anak Indonesia berisiko menderita penyakit kronik seperti diabetes, gagal ginjal, autoimun, hingga kanker. Risiko ini diduga kuat berakar pada pola asuh dan pola makan yang buruk di rumah.


Hasil baseline survey di delapan wilayah menyoroti krisis gizi dan minimnya kesadaran keluarga tentang pola makan sehat anak.--Yayasan ALIT Indonesia

Mengingat usia penderita penyakit kronik yang makin muda, bahkan dialami anak-anak, hal ini sangat relevan dengan pola makan dan pola asuh keluarga, terutama ketika kedua orang tua bekerja di luar rumah, rendahnya pengetahuan gizi orang tua, menurunnya kemampuan mengolah pangan, serta fungsi komunikasi anak bersama orang tua yang banyak tergantikan oleh media internet.

Temuan lainnya menunjukkan bahwa anak-anak cenderung menolak makanan sehat gratis di sekolah, terutama yang berbahan dasar sayur atau susu. Ini menjadi tanda bahwa adiksi terhadap makanan berperasa kuat, manis, dan berpewarna sintetis sudah sangat mengakar. Kondisi ini menimbulkan ancaman nyata terhadap tumbuh kembang anak di masa depan.

Kategori :