Bangladesh Berduka: Pesawat Militer Jatuh, 31 Tewas, Mayoritas Anak-Anak

Kamis 24-07-2025,13:11 WIB
Reporter : Joylin Septiani
Editor : Noor Arief Prasetyo

Ya, mereka menuntut keadilan. Sebab, warga merasa, ada begitu banyak hal yang ditutupi oleh aparat. Terutama, soal jumlah korban jiwa.

BACA JUGA:Makan Mi Bangladesh yang Murah dan Enak di Surabaya

BACA JUGA:Empat Korban Pesawat Jatuh Sudah Ditemukan, Dimakamkan Hari Ini di TMP

Seorang siswa 17 tahun, yang menolak disebut namanya, mengatakan kepada AFP bahwa aparat militer menanggapi protes mereka dengan kekerasan. “Kami bertanya di mana tubuh teman-teman kami, tapi kami malah didorong dan diteriaki,” katanya.

Aksi meluas ke pusat kota. Massa menerobos gerbang sekretariat nasional. Polisi merespons dengan tongkat dan granat kejut, sebagaimana dilaporkan media lokal. Pemerintah akhirnya angkat bicara. “Kami percaya tuntutan siswa sah dan harus dipenuhi,” ujar juru bicara pemerintah Ahammed Foyez, seperti dikutip AFP.

Namun bagi banyak keluarga, pernyataan itu belum cukup. Mereka ingin jawaban lebih dari sekadar belasungkawa.

Senin malam, suasana khidmat menyelimuti halaman sekolah. Doa bersama digelar di antara reruntuhan. Lilin menyala, pelukan bersilang, air mata tak terbendung. Sebagian orang tua masih menggenggam tas sekolah anak-anak mereka yang hangus terbakar.

Muhammad Yunus, pemimpin sementara Bangladesh, mengumumkan hari berkabung nasional. Dalam pernyataan resminya, ia menyebut tragedi itu sebagai “saat penuh luka bagi bangsa.” Katanya, “Kehilangan yang diderita Angkatan Udara, para siswa, orang tua, guru, dan staf Milestone School tidak tergantikan.”


TENTARA BANGLADESH membersihkan puing-puing sisa kecelakaan di Dhaka, 22 Juli 2025.-MUNIR UZ ZAMAN-AFP-

Di sisi lain, puluhan tas, sepatu, dan kartu identitas ditemukan berserakan di sekitar lokasi. Barang-barang yang dulu berarti aktivitas harian kini menjadi bukti bisu dari tragedi besar.

“Anakku keluar dua-tiga menit sebelum pesawat jatuh,” cerita Abul Bashar kepada AFP. Putranya, siswa kelas enam, tampak diam dan pucat di sampingnya. “Dia tidak bisa tidur semalaman. Pagi ini, dia memaksa agar saya mengantarnya ke sekolah.”

Gedung Haider Ali dulunya dipenuhi anak-anak usia 6–13 tahun. Mereka belajar, bercanda, saling mengejar mimpi. Kini, yang tersisa adalah kerangka beton hangus, cat dinding menghitam, dan langit-langit runtuh.

Mohammad Imran Hussein, dosen bahasa Inggris, adalah saksi mata dari gedung di seberang. “Suara ledakannya tidak tertahankan,” katanya kepada BBC. “Aku melihat ekor pesawat. Lalu api besar menyapu semuanya.”

Sementara evakuasi terus dilakukan, suasana di sekitar sekolah tetap genting. Petugas mengumpulkan puing-puing pesawat, menyisir setiap sudut untuk mencari petunjuk. Namun pertanyaan utama belum terjawab: mengapa latihan tempur berlangsung dekat area sekolah? Mengapa tragedi ini bisa terjadi?

Hingga kini, pihak militer dan pemerintah belum merilis penjelasan rinci soal keputusan penerbangan, jalur yang dipilih, dan respons darurat. Kecurigaan terhadap minimnya transparansi mulai merebak. Terutama di kalangan keluarga korban dan siswa yang selamat.

“Bagaimana kami bisa kembali ke sekolah ini?” tanya guru Shahadat Hossain lirih. “Kami tidak tahu berapa lama butuh waktu untuk sembuh. Atau apakah kami bisa sembuh sama sekali.”

Kategori :