PERMASALAHAN kota dan perkembangannya sudah sejak dulu menjadi perhatian negara maju maupun negara-negara berkembang. Terlebih sekarang ini yang berkaitan dengan perkembangan spasial kota yang tidak terkendali.
Akhir pekan lalu saya, dan bahkan hampir seluruh warga Surabaya, dikejutkan oleh lenyapnya Jembatan Tunjungan Center. Tak lagi termungkiri, itu adalah jembatan tersohor kedua setelah Jembatan Merah. Seperti kita ketahui, Jembatan Merah (Roode Brug) adalah jembatan yang paling terkenal di Surabaya.
Jembatan itu berfungsi untuk menghubungkan daerah sebelah barat Kalimas yang dahulu menjadi daerah permukiman orang Eropa (europeesche wijk) dengan daerah sebelah timur Kalimas yang dahulu menjadi daerah permukiman orang China (pecinan), orang Arab (arabische kamp), dan daerah Melayu.
BACA JUGA:JPO Siola Dibongkar, Pemkot Surabaya Siapkan Desain Baru yang Estetik dan Terbuka
BACA JUGA:Dibayar Rokok, Anak Di Bawah Umur Nekat Bakar JPO Jalan Pemuda Surabaya
Tepat di sebelah timur jembatan tersebut sampai tahun 1925 terdapat kantor residen yang merupakan pusat pemerintahan Kota Surabaya waktu itu sehingga Jembatan Merah menjadi tempat yang sangat ramai pada zamannya dan melegenda sampai sekarang.
Jembatan Merah merupakan satu contoh bukti bahwa sesuatu yang sebelumnya sudah ada dan dengan sebab-sebab tertentu ditetapkan sebagai simbol kota.
Sebaliknya, beberapa simbol kota lainnya seperti monumen, tugu, dan patung adalah simbol yang direkonstruksi atau diciptakan kembali.
BACA JUGA:Bukan Korsleting, Insiden Kebakaran JPO Jalan Pemuda Ternyata Ulah Anak di Bawah Umur
Simbol jenis itu memiliki arti penting tidak hanya karena tingkat rujukan dan kekuatan daya perlambangnya, tetapi juga perhatian resmi yang dicurahkan terhadapnya.
Sejarah simbolisme Surabaya, baik yang diambil alih dari sesuatu yang sebelumnya ada maupun yang direkonstruksi, dapat dibagi dalam empat masa. Yakni, masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru. Sedangkan saat ini sebuah tahap baru tengah berlangsung.
Setiap masa berusaha membangun kenangan kolektif, tetapi ketika masa itu berakhir, masa berikutnya akan berusaha menghapus ingatan kolektif itu dan membangun sebuah ingatan kolektif baru, tak terkecuali Jembatan Tunjungan Center.
Entah apa yang melintasi benak sang pemangku kota yang sudi memapras salah satu ingatan kolektif kota Surabaya di era modern ini. Kita masih ingat, contoh lain dari simbol kota yang termasuk dalam domain modernisasi adalah Pasar Wonokromo.
Ketika pasar itu dibongkar pada April 2003, banyak pihak yang menyesalkan. Penyesalan tidak hanya karena pembongkaran itu diwarnai dengan tindak kekerasan, tetapi juga menyebabkan hilangnya satu dari beberapa bangunan berarsitektur jengki yang ditandai dengan atap pelana yang sangat langka.
Menurut Johan Silas, bangunan dengan arsitektur jengki sangat sedikit karena arsitektur itu hanya ada di Indonesia, tepatnya di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah sekitar tahun 1950-an sampai 1960-an.