Pada 2007, ia bergabung di angkatan pertama Jurusan Teater STKW. Di situlah dia benar-benar jatuh cinta pada teater.
Deny mulai mengenal ludruk, ketoprak, dan teater tradisi. Puncaknya pada 2011, dia mendapat tawaran main Ketoprak Sayembara di TVRI.
BACA JUGA:STKW Surabaya, Kampus Seni, Prosesi Wisudanya pun Nyeni
Saat ayahnya melihatnya di layar kaca, dia menangis. “Darah seni tak bisa dibohongi,” katanya. Dukungan itu menjadi titik balik. Denny akhirnya diterima kembali ke dunia yang pernah dilarang.
Deny pun aktif di dunia teater nasional. Dia pernah tampil di Brunei Darussalam dalam acara Majelis Sastra Asia Tenggara, pentas di Festival Cak Durasim, Trowulan, hingga Yogyakarta. Dia juga pernah dibimbing oleh legenda teater seperti Akhudiyat dan Putu Wijaya.
Sejak 2012 pasca lulus dari STKW, Deny kembali untuk mengajar di almamaternya. Dia membimbing mahasiswa dalam hibah Kementerian lewat Klinik Teater, menggarap ludruk kampus, dan membawa tim STKW ke Parade Teater Kampus Seni Indonesia (PTKSI) setiap tahun.
Deny Tri Aryanti (memegang pigura piagam) bersama para mahasiswanya dari Prodi Seni Teater, STKW.-Deny Tri Aryanti-
BACA JUGA:Tujuh Alumni STKW Angkatan ’97 Menyatukan Atmosfer dalam Rindu
Kini, Deny terus memperjuangkan eksistensi STKW. Baginya, kampus yang berdiri sejak 1980 itu layak menjadi negeri.
Bukan hanya karena prestasi. Tapi karena lulusannya mengisi ruang-ruang seni di seluruh Jawa Timur. “Kami hidup bukan untuk STKW, tapi untuk memajukan budaya Jawa Timur,” tegasnya.
Dan lewat suaranya, panggung kecil itu terus bergema. Sampai saat ini, Deny, Faishal, dan warga kampus STKW menanti status penegerian itu. Entah kapan.
BACA JUGA:Profil Agus ’’Koecink’’ Sukamto, Dosen STKW yang Juga Seniman Top
Tentu mereka tak mau terlalu lama menantikan itu di ruang tunggu. (*)
*Dosen unggulan di Prodi Karawitan STKW, baca seri selanjutnya...