BACA JUGA:Bandar dan Bohir di DPR
Pada tataran kelembagaan legislatif pada semua tingkat (kota/kabupaten, provinsi, dan pusat), perlu dilakukan program pendidikan dan pelatihan yang memadai sebelum mereka dilantik sebagai anggota DPR.
Mereka perlu dibekali bagaimana menjadi anggota DPR yang baik, jujur, adil, dan bijaksana sehingga kelak mereka dalam menjalankan tupoksinya dapat memberikan kemaslahatan bagi semua pihak.
Program sekolah atau diklat itu berlaku bagi anggota DPR sebelum mereka bertugas, mirip matrikulasi dalam perkuliahan. Apalagi, latar belakang anggota DPR sangat heterogen.
Program dijalankan secara berkala, setiap tiga bulan sekali ”sekolah anggota DPR” atau diklat anggota DPR. Dalam instansi, mirip dengan diklat kepemimpinan (diklatpim).
Dengan program itu, diharapkan berbagai penyimpangan sebagai anggota DPR dapat dicegah sehingga perjalanan mereka selama mendapat amanat rakyat dapat ditunaikan dengan baik dan memberikan kontribusi dalam pendidikan politik keteladanan. Tidak menjadi pesakitan karena kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Mengapa diperlukan pendidikan anggota DPR? Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD.
Fakta itu menjadi ironi sebagai wakil rakyat yang diharapkan dapat menjalankan amanat rakyat. Akan tetapi, justru tidak amanat (tidak dapat dipercaya).
Tanpa ikhtiar atau upaya yang disertai tindakan konkret, laju korupsi di Indonesia akan makin meluas dan menggurita.
Sebagai gambaran yang memprihatinkan, rekap korupsi tahun 2024, KPK mencatat kementerian atau lembaga setingkat lainnya menjadi instansi yang paling banyak terjerat kasus korupsi.
Tahun 2024, ada 39 kasus di instansi tersebut. Posisi kedua ditempati BUMN atau BUMD dengan 34 kasus.
Sebagai bagian dari anak bangsa, kita sangat miris dan ikut prihatin dengan perilaku sebagian pejabat negara dan sebagian anggota DPR, baik pada saat mereka masih menjabat maupun setelah selesai menjabat.
Sebab, jeratan hukum menanti, mengalami akhir jabatan yang su’ul khatimah (akhir yang tidak baik), yang tidak dikehendaki siapa pun, akan tetapi faktanya sering terjadi.
Melalui desain pendidikan anggota DPR secara terprogram dan berkelanjutan, diharapkan dapat membentuk integritas mereka dan mencegah terjadinya korupsi serta penyalahgunaan jabatan.
Dengan begitu, amanat rakyat dapat ditunaikan dengan baik dan pembangunan nasional dapat melaju dengan cepat.
Itulah demokrasi yang berdampak, demokrasi yang menghasilkan anggota DPR yang memperjuangkan rakyat, serta memajukan bangsa dan negara, bukan sebaliknya. (*)