DALAM beberapa pekan terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang disorot masyarakat, bahkan didemo langsung oleh elemen masyarakat ke gedung DPR. Mereka merasa tidak puas dengan kinerja anggota DPR dan menolak rencana kenaikan gaji serta tunjangan yang fantastis di tengah kebijakan efisiensi keuangan negara.
Benarkah terpilihnya anggota DPR sebagai simbol bahwa demokrasi telah berhasil? DPR dipilih rakyat. Namun, setelah terpilih, apakah benar mereka telah memperjuangkan aspirasi rakyat sebagaimana konsep demokrasi menurut Abraham Lincoln yang mengartikan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Komitmen dan integritas anggota DPR, mulai DPRD sampai DPR RI, perlu diuji seiring dengan berbagai persoalan yang disorot belakangan. Mulai kasus korupsi, rencana kenaikan gaji dan tunjangan, sampai ada yang terlibat judi online (judol). Apalagi, kinerja belum tampak nyata dan dirasakan masyarakat.
BACA JUGA:Meruwat DPR: Krisis Representasi Politik
BACA JUGA:Kenaikan Tunjangan DPR RI, Joget di Senayan, dan Krisis Empati Sosial
MOTIVASI MENJADI ANGGOTA DPR
Pilihan sebagai politisi atau terjun ke dunia politik praktis sejak era reformasi menjadi euforia yang tak terbendung, mengalir deras bagaikan keran yang terbuka lebar. Secara umum, motivasi seseorang terjun ke dalam politik dapat diklasifikasi menjadi empat alasan.
Pertama, politik sebagai naluri dan cita-cita mulia. Kedua, pilihan spekulatif. Ketiga, pilihan mencari penghidupan. Keempat, pilihan darurat.
Bagi yang menjadikan politik sebagai naluri dan cita-cita mulia, sejak awal disiapkan dengan baik dan didukung integritas serta kapabilitas yang memadai, bagi yang pilihan spekulatif hanya ingin merasakan bagaimana kehidupan dalam politik praktis sekalipun secara ekonomi sudah mapan.
BACA JUGA:Kepala Daerah Dipilih Anggota DPRD, Demokratis?
BACA JUGA:KPK Larang Koruptor Pakai Masker, Mengapa DPR Terganggu?
Bagi yang pilihan mencari uang, biasanya segala cara dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan bagi yang pilihan darurat, yang penting ada pekerjaan sebagai penggantinya.
Setiap alasan pilihan membawa konsekuensi bagi politikus yang bersangkutan. Kelompok pertama umumnya melahirkan politisi tulen dan idealis. Kelompok kedua melahirkan simbiosis mutualisme antara politisi dan partai politik (parpol) karena saling membutuhkan.
Kelompok ketiga melahirkan politisi yang sering menghalalkan segala cara (Machiavalisme). Terakhir, kelompok keempat melahirkan politisi yang situasional dan kondisional.
BACA JUGA:Catatan MH Said Abdullah: Peran Badan Anggaran DPR RI ke Depan