Bagi muzaki, perlakuan zakat sebagai pengurang pajak langsung itu menjadi insentif menarik. Sebab, di satu sisi muzaki telah menjalankan kewajiban agama dan di sisi lain itu bisa mengurangi kewajiban pajak.
Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa pemberlakukan kebijakan itu justru bisa menaikkan perolehan zakat sekaligus perolehan pajak.
Penelitian Radiah (2013) juga menunjukkan hal tersebut. Dia meneliti perolehan pajak dan zakat di 14 negara bagian di Semenanjung Malaysia. Hasilnya, pemberlakuan zakat sebagai pengurang pajak langsung justru meningkatkan pembayaran zakat sekaligus pajak.
Bahkan, juga di negara-negara bagian yang pengelolaannya berbeda-beda. Itu juga didukung penelitian-penelitian lain yang konsisten menunjukkan hubungan positif zakat dan pajak pasca pemberlakuan kebijakan zakat sebagai tax deductible.
Fakta di Malaysia itu perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, untuk mengkaji kemungkinan penerapannya di Indonesia. Kebijakan zakat sebagai pengurang pajak langsung ternyata justru bisa mendorong perolehan pajak.
Insentif itu diyakini bisa meningkatkan kepatuhan membayar zakat sekaligus pajak sehingga tax ratio Indonesia yang saat ini sekitar 10 persen bisa ditingkatkan. Pemerintah tidak perlu khawatir bahwa kebijakan tersebut akan kontraproduktif terhadap perolehan pajak.
Apalagi, pemerintah juga bisa menyinergikan program pemerintah dengan program LAZ dan BAZ. Pemerintah bisa menyerahkan pengentasan kemiskinan, menghapus kemiskinan ekstrem, mengurangi pengangguran, dan mendorong usaha mikro-kecil di daerah tertentu kepada BAZ/LAZ.
Dengan begitu, pemerintah bisa fokus kepada objek yang lain dan melakukan pemberdayaan yang tidak dilakukan BAZ/LAZ. Wallahu a’lam. (*)
*) Imron MAwardi adalah guru besar investasi dan keuangan Islam pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.