Partai Influencer

Selasa 09-09-2025,21:45 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Gerakan sekarang dipimpin tokoh baru yang disebut para influencer. Sebut saja nama seperti Ferry Irwandi, Sasa Erwina Hutagalung, Fatiha Izzati, Abigail Limuria, Andovi da Lopez, Andhyta Firselly Utami (Afutami), dan Jerome Polin. Mereka secara kolektif merumuskan 25 tuntutan politik kepada DPR dan pemerintah.

Ke-25 tuntutan itu terbagi menjadi dua: 17 tuntutan yang harus direspons dalam seminggu. Sedangkan 8 tuntutan mereka memberikan tenggat kepada pemerintah dan elite politik untuk mewujudkannya dalam waktu setahun. Sebagian tuntutan itu telah dipenuhi elite politik di DPR RI. Sebagian masih belum. 

Ini menarik. 

BACA JUGA:Fenomena Deinfluencing Media Sosial, Tak Lagi Percaya Rekomendasi Influencer

BACA JUGA:Profil Dokter Azmi Fadhlih, Influencer Kesehatan dan Dokter Spesialis Kulit Berprestasi

Sumber otoritas influencer itu sangat berbeda dengan tokoh tradisional. Dulu para tokoh tradisional tersebut muncul dari struktur organisasi seperti NU dan Muhammadiyah maupun parpol. Juga, memperoleh legitimasi historis seperti perjuangan melawan Orde Baru, keturunan presiden atau pendiri bangsa, maupun ketokohan dalam keluarga.

Sedangkan para influencer digital memperoleh otoritas dari jaringan audiens media sosial. Mereka memiliki  jutaan followers. Juga, kedekatan emosional dengan generasi muda dan kemampuan framing isu secara cepat dan relatable

Jadi, otoritas tradisional datang dari atas ke bawah (top-down). Sedangkan otoritas influencer muncul dari bawah ke atas (bottom-up) melalui interaksi di platform digital. Jelas itu pergeseran efektivitas ketokohan akibat revolusi teknologi digital.

BACA JUGA:Kemkomdigi Gencarkan Penanggulangan Judi Online, Blokir Sejumlah Akun Influencer

BACA JUGA:Meninggal di Usia 32 Tahun, Ini Profil Influencer Stevie Agnecya

Ekosistem komunikasi politik pun berbeda. Di Era Gus Dur atau Mbak Mega, narasi politik terbentuk di ruang rapat partai, forum ormas, atau media cetak serta TV yang dikontrol elite. Kini narasi lahir di Twitter, Instagram, dan TikTok. Setelah viral, kemudian memaksa media mainstream dan DPR ikut membicarakan.

Jadi, area hegemoni politiknya bergeser: dari ruang formal ke ruang digital.

Pertanyaannya kemudian, mengapa para influencer itu tiba-tiba muncul? Padahal, mereka umumnya bukan tokoh politik. Itulah yang perlu jadi perhatian elite partai politik. Apakah parpol sudah dianggap tak lagi bisa menjadi penyalur aspirasi kepentingan generasi baru? Bisa jadi demikian. 

Partai politik telah dianggap makin elitis. Jauh dari aspirasi lapis baru yang disebut dengan generasi kekinian. Fungsi partai sebagai agregator kepentingan masyarakat tak lagi bisa diandalkan. Apalagi, ketika parpol terkesan hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah yang tak sesuai dengan aspirasi publik.

Influencer akhirnya hadir sebagai wakil rakyat nonformal. Mereka lebih dipercaya ketimbang para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme politik formal: Pemilu. Para influencer itu bukanlah politisi. Karena itu, ketika mereka bicara politik, publik menilai para influencer itu lebih tulus dan jujur. 

Akankah gerakan politik 2025 ini melahirkan partai influencer? Saya tidak tahu. Cuma, saya tak bisa membayangkan mereka berubah menjadi partai politik secara organisiasi. Saya hanya yakin mereka setiap saat bisa menggantikan fungsi partai politik ketika saluran aspirasi mereka buntu.

Kategori :