HARIAN DISWAY - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI agar 5 isu krusial diakomodasi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Isu pertama, soal kualifikasi aparat penegak hukum dan lembaga pengelola aset. Koalisi menilai kewenangan Kejaksaan RI yang terlalu luas.
Sehingga dari penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan aset, harus diawasi ketat.
BACA JUGA:RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas, Kini Dibahas di Komisi III DPR
“Perlu ada jaminan pengawasan pengelolaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan RI agar nilai aset tidak berubah terlalu drastis,” jelas peneliti ICW Wana Alamsyah pada Kamis, 11 September 2025.
Isu kedua, pengaturan tentang unexplained wealth order, harta yang asal-usulnya tidak bisa dijelaskan. Instrumen ini, menurut koalisi, bisa menjerat pejabat yang kekayaannya melampaui pendapatan sah.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dikelola KPK seharusnya dimanfaatkan bukan sekadar formalitas, tapi juga alat pembuktian korupsi.
BACA JUGA:RUU Perampasan Aset Resmi Masuk Prolegnas Prioritas 2025
Ketiga, soal batas minimal nilai aset yang dapat dirampas. Draf April 2023 menetapkan minimal Rp100 juta dan berkaitan dengan tindak pidana berancam minimal 4 tahun penjara.
“Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” ujar Wana.
Isu keempat menyangkut mekanisme upaya paksa. Meski RUU ini tidak mengandalkan pemidanaan, penyidik bisa melakukan pemblokiran dan penyitaan aset.
“Tindakan itu berpotensi membatasi hak seseorang, sehingga harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan hak asasi manusia,” kata Wana.
BACA JUGA:Prabowo Janji Dorong UU Perampasan Aset, Tokoh Lintas Agama Soroti Pajak dan Korupsi
Dan kelima, sistem pembuktian. Koalisi mendorong penggunaan pembuktian terbalik, sebagaimana lazim dalam skema non-conviction based asset forfeiture.
Beban tidak hanya di aparat, tapi juga pada pemilik aset untuk menunjukkan legalitas hartanya.