Waspada Dampak Buruk Paylater, Kemudahan yang Bisa Menghancurkan Keuangan Anda

Sabtu 20-09-2025,13:00 WIB
Reporter : Fitri Aprilia Alfina*
Editor : Guruh Dimas Nugraha

HARIAN DISWAY - Beberapa tahun terakhir, paylater menjadi salah satu metode pembayaran paling populer di Indonesia.

Mulai dari aplikasi belanja, transportasi online, pesan makanan, hiburan, bahkan platform travelling. Semua menyediakan metode yang sama: “beli sekarang, bayar nanti.” 

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), paylater merupakan layanan pembayaran yang memungkinkan penggunanya untuk menunda pembayaran. Kemudian melunasinya pada waktu yang telah ditentukan. 

BACA JUGA:6 Panduan Lengkap Pakai Paylater Secara Bijak, Hindari Utang Berkepanjangan

Kepopuleran paylater di Indonesia tidak lepas dari kemudahan penggunaannya. Mulai dari proses aktivasi yang hanya membutuhkan KTP dan nomor telepon, transaksi yang cepat, bunga yang cukup rendah, dan berbagai diskon atau promo yang menarik.

Berbeda dengan kartu kredit yang memiliki proses cukup rumit, paylater dapat digunakan dan diaktifkan dengan waktu singkat. 

Selain itu, paylater juga memungkinkan penggunanya dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak. Terutama saat kondisi keuangan menipis.

BACA JUGA:OJK Pastikan Lonjakan Paylater Tak Berdampak Pada Penurunan Tabungan Perbankan


Penggunaan paylater secara tidak tepat dapat mendorong perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari--freepik.com

Namun, fenomena itu kini menjadi kebiasaan. Paylater dijadikan metode pembayaran utama. Bahkan digunakan untuk membeli hal-hal yang tak terlalu dibutuhkan. 

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mayoritas penggunaan paylater berasal dari generasi muda. Sebagai berikut: 

  • 26,5 persen berusia 18-25 tahun, 
  • 43,9 persen berusia 26-35 tahun,
  • 21,3 persen berusia 36-45 tahun,
  • 7,3 persen berusia 46-55 tahun,
  • dan hanya 1,1 persen di atas 55 tahun. 

BACA JUGA:Keuntungan Bayar Shopee PayLater via Agen BRILink

Penggunaan paylater banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan fesyen yang mencapai 66,4 persen, perlengkapan rumah tangga 52,2 persen, elektronik 41 persen, laptop dan ponsel 34,5 persen dan perawatan tubuh sebesar 32,9 persen. 

Data-data tersebut menunjukkan layanan itu menjadi pendorong terbentuknya budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Khususnya generasi muda. 

Hal itu juga diperparah oleh fenomena FOMO (Fear Of missing Out) dan YOLO (You Only Live Once), yang mendorong individu untuk berbondong-bondong membeli barang yang tidak dibutuhkan. Tujuannya hanya untuk memenuhi keinginan semata. Atau karena khawatir ketinggalan tren. 

Kategori :