Tagar bisa menjadi kepalan tangan dan sebuah utas viral mampu berfungsi sebagai mimbar orasi yang menjangkau jutaan orang.
Di sinilah ayat ke-18 dari surah Al-Baqarah tadi menemukan relevansinya yang paling tajam. Kondisi ”tuli” menjelma saat para pemangku kebijakan hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar.
Telinga mereka tersumbat oleh bisikan para pembisik istana dan dengung sanjungan sehingga suara gemuruh dari jalanan dianggap angin lalu, sekadar gangguan yang diorkestrasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Adapun kondisi ”bisu” bukanlah berarti ketiadaan kata-kata. Para pemimpin mungkin saja sering berbicara di podium, menggelar konferensi pers, atau merilis pernyataan resmi.
Namun, mereka menjadi bisu ketika lisan mereka tak mampu menyambung dengan hati rakyat. Bahasa mereka menjadi bahasa teknokratis yang kaku, penuh jargon, dan berjarak dari realitas. Mereka berbicara, tetapi tidak berdialog.
Sementara itu, ”kebutaan” terjadi ketika penglihatan hanya tertuju pada angka-angka statistik pertumbuhan dan deretan laporan di atas meja. Mata mereka gagal melihat wajah-wajah di balik angka tersebut.
Mereka melihat potensi instabilitas dari sebuah aksi massa, tetapi buta terhadap ketidakadilan sistemik yang menjadi bahan bakarnya. Mereka membaca teks tuntutan, tetapi tak mampu melihat luka yang melatarinya.
Dalam tradisi pemikiran Islam, dialog dan upaya saling memahami (tabayun) adalah kunci. Aksi massa yang tertib sejatinya bukanlah sebuah pemberontakan (bugat), melainkan sebuah bentuk nasihat akbar kepada para pemimpin.
Ia adalah manifestasi dari kewajiban kolektif untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar), yang ditujukan demi kemaslahatan bersama.
Inti dari frasa ”mereka tak akan kembali” adalah sebuah peringatan keras: ketika pemimpin telah sepenuhnya menutup mata dan telinga dari realitas rakyat, ia sedang berjalan menuju titik tanpa harapan untuk pulang.
Setiap langkah yang menjauhkannya dari denyut nadi kehidupan warganya adalah langkah menuju kehancuran legitimasinya. Pada akhirnya, jurang antara dirinya dan rakyat menjadi terlalu lebar untuk diseberangi, membuat kepercayaan mustahil dipulihkan.
Tentu, setiap ikhtiar penyampaian aspirasi haruslah dijaga dalam koridor adab dan ketertiban. Aksi-aksi yang diwarnai perusakan fasilitas publik hanya akan menodai niat luhur dari gerakan itu sendiri.
Pesan agung dari suara rakyat terlalu berharga untuk dikaburkan oleh tindakan segelintir oknum yang nir-etika. Keadaban dalam berjuang adalah cermin dari keluhuran tujuan.
Ruang digital sebagai arena baru pun memiliki tantangannya sendiri. Di tengah arus informasi yang deras, hoaks dan fitnah bisa dengan mudah menyelinap, membelokkan isu, dan mengadu domba.
Menjaga substansi pesan di tengah riuh rendahnya provokasi digital adalah sebuah kearifan yang harus terus diasah oleh para penggerak perubahan.
Dengan demikian, ayat tersebut adalah sebuah undangan refleksi, sebuah muhasabah bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan.