Reshuffle berkaitan erat dengan dinamika perpolitikan yang terjadi. Juga, situasi sosial dan pertumbuhan ekonomi yang belum sesuai harapan, di samping berbagai sorotan terkait kinerja menteri yang bersangkutan.
Semuanya ada asbabulwurud (situasi dan kondisi yang melatarbelakangi) terjadinya reshuffle kabinet. Presiden dengan segala kewenangannya memiliki fleksibilitas untuk melakukan reshuffle kabinet.
Meski, itu kadang tidak dikehendaki sebagian pihak karena berdampak pada banyak hal, baik secara politik, sosial, ekonomi, maupun lainnya.
Ketika ada wacana reshuffle kabinet, yang paling sibuk adalah pimpinan partai politik, khususnya parpol koalisi. Sebab, mereka memiliki banyak kepentingan. Umumnya mereka berupaya memproteksi agar kader partainya yang ada dalam kabinet tidak kena reshuffle.
Di saat bersamaan, parpol berharap kader partainya masuk kabinet ketika ada menteri atau pejabat yang setara kena reshuffle. Namun, semuanya diserahkan kepada presiden sebagai pemilik hak prerogatif
Setidaknya ada dua alasan yang menyertai reshuffle. Pertama, situasi dan kondisi riil di tengah masyarakat yang akhirnya disuarakan dalam bentuk aspirasi masyarakat yang mengarah pada tuntutan kepada pemerintah karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah melalui para menterinya.
Terkait hal itu, akhirnya presiden mengevaluasi kinerja para menteri yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang belum sesuai harapan dan sulitnya mendapatkan lapangan kerja. Dengan evaluasi kinerja, didapatkan portofolio para menteri yang belum sesuai harapan.
Kedua, faktor politik, sejak awal rekrutmen calon menteri sebagai anggota kabinet setelah presiden dilantik, presiden sangat mempertimbangkan dan mendengarkan pendapat atau keberadaan partai-partai politik, khususnya parpol koalisi.
Pasalnya, dukungan mereka sangat penting dan bermakna bagi perjalanan pemerintahan dan dukungan terhadap visi misi presiden.
Apalagi, program-program prioritas presiden seperti makan bergizi gratis (MBG) dan program prioritas yang terkait dengan kebutuhan dasar lainnya.
Dalam konteks ini, logika politik dapat dikemukakan kalau sejak awal pengangkatan menteri berkaitan erat dengan faktor politik, dalam hal ini dukungan parpol. Maka, dalam perjalanan kinerja menteri yang diangkat juga masih terus dikawal dan dimonitor oleh parpol, khususnya parpol koalisi.
Dengan begitu, apabila di antara menteri, kinerjanya dinilai tidak sesuai harapan presiden, parpol juga akan dengan mudah membisikkan atau menyampaikan kepada presiden, meskipun semuanya diserahkan kepada presiden sesuai hak prerogratifnya.
Di sinilah resiliensi menteri diuji, apakah mereka dapat bertahan ataukah kena reshuffle bergantung pada faktor yang telah dikemukakan di atas. (*)
*) Muhammad Turhan Yani adalah guru besar Fisipol dan kepala LPPM Universitas Negeri Surabaya, anggota Pokja Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Jawa Timur 2025–2029, dan Dewan pakar HISPISI.