Sidoarjo dan Panggilan untuk Merawat Ingatan: Belajar dari Tilik Mburi

Jumat 26-09-2025,07:33 WIB
Oleh: Achmad Muzakky Cholily*

Mereka adalah para dalang yang menghidupkan kembali wayang-wayang sejarah yang lama tersimpan di dalam kotak. Dengan fasih, mereka merajut data teknis, arsip tua, dan anekdot-anekdot manusiawi menjadi sebuah narasi yang utuh dan hidup.

Di sanalah Tilik Mburi menunjukkan keistimewaannya. Mereka tidak hanya bercerita tentang gula dan mesin uap. Mereka bercerita tentang manusia. 

Tentang nasib seorang insinyur Belanda yang bertugas jauh dari rumah, tentang ambisi seorang mandor pribumi, dan terutama, tentang ribuan buruh tanpa nama yang keringatnya menjadi bahan bakar utama bagi roda industri kolonial. Ruang-ruang kosong itu pun seolah kembali terisi oleh jiwa-jiwa dari masa lampau.

BACA JUGA:Pembunuhan Driver Ojol Asal Sidoarjo di Gresik: Pelaku Pancing Korban

BACA JUGA:Cemburu Pria Pengamen di Sidoarjo Berujung Pembunuhan

Kegiatan Tilik Mburi pada akhir pekan ini jauh lebih dari sekadar rekreasi; ini adalah bentuk kontribusi sipil yang esensial. Secara spontan, mereka mengisi kekosongan peran yang sering kali hanya dibebankan kepada institusi formal. 

Gerakan itu lahir secara organik sebagai jawaban atas panggilan zaman untuk menjaga aset kultural bangsa, sebuah seruan yang belakangan ini kian menguat.

Tilik Mburi pada dasarnya berupaya menerjemahkan bisikan sunyi dari reruntuhan menjadi sebuah dialog yang hidup. 

BACA JUGA:Pagar Laut Tangerang dan Sidoarjo, Ini Perbedaannya...

BACA JUGA:Mutilasi di Trosobo, Sidoarjo, Jatim, dalam Kacamata Rational Choice Theory

Mereka tidak hanya berjalan kaki, tetapi juga menenun kembali benang-benang ingatan yang nyaris putus, menjadikannya sebuah permadani cerita yang bisa dinikmati oleh generasi masa kini. Itu adalah sebuah laku budaya yang lahir dari insting paling dasar: keinginan untuk tidak tercerabut dari akarnya.

Pada intinya, Tilik Mburi lahir dari sebuah kesadaran kolektif untuk bertindak. Itu adalah gerakan organik yang mengambil peran penting dalam menjaga memori kota, sebuah tugas mulia yang tak selalu bisa diemban lembaga formal semata.

Gema dari gerakan di akar rumput tersebut ternyata bersahutan dengan spirit yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Inisiatif mereka menjadi representasi hidup dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, yang mengedepankan partisipasi publik.

BACA JUGA:Tarif Pembunuh Bayaran di Sidoarjo Tergolong Tinggi

Di tanah Jawa Timur, pijakan mereka menjadi makin kokoh karena sejalan dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Aturan itu seakan menjadi payung yang menaungi dan memberikan legitimasi pada semangat yang sudah menyala di tengah masyarakat.

Kolaborasi tak tertulis antara semangat warga dan kerangka hukum itulah yang melahirkan kekuatan sejati. Tilik Mburi menunjukkan bagaimana DNA kultural sebuah tempat dapat dirawat dan diwariskan secara efektif ketika semua pihak, baik pemerintah maupun warganya, bergerak dalam harmoni.

Kategori :