Gerombolan the leisure group sengaja dibuat untuk memberikan serta membedakan mereka dengan kelas sosial lainnya, maka mereka akan berperilaku konsumtif yang cenderung hiperbola dan boros yang sebagai gaya hidup untuk menunjukkan simbol status mereka.
Di dalam gaya hidup masyarakat konsumsi, kehidupan sehari-hari cenderung bergaya untuk memamerkan diri. The leisure group menghabiskan ketika dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengonsumsi kopi.
Konsumsi yang dilakukan tidak hanya membuat kepuasan sendiri, tetapi juga untuk membentuk orang lain iri dan bertujuan buat menaikkan status sosial.
Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumsi berkaitan menggunakan apa yang mereka miliki menjadi tanda objek konsumsi. Masyarakat konsumsi dikontrol oleh indikasi karena objek yang dipergunakan yakni menjadi indikasi, bukan menjadi bagian yang dikonsumsi.
Sebagai contoh, saat kita membeli kopi, baik di kafe maupun warkop, dalam hal ini yang membedakannya bukan pada minumannya, melainkan lebih pada indikasi objeknya.
Simbol-simbol yang dimiliki kafe menghasilkan simulakra yang menyebabkan terciptanya sebuah pandangan imajiner bagi konsumen dan owner (pemilik usaha) akan sebuah tempat ngopi yang elite serta eksklusif.
Maka, hal tersebut sinkron dengan apa yang dianggap sebagai ”simulasi” oleh Jean Baudrillard. Kesamaan pergeseran fungsi kafe dan warkop pada mata konsumen yang bukan lagi didasari sang kebutuhan dan kegunaan melainkan karena harapan buat bisa menampilkan, prestise, status sosial, serta lain sebagainya telah membentuk sebuah empiris semu.
Bordieu pun memaparkan bahwa gaya hidup dilukiskan sebagai ruang atau persisnya ruang gaya hidup yang bersifat plural, yang di dalamnya para anggota grup sosial menciptakan norma sosial mereka. Gaya hidup terbentuk menjadi produk sistematis berasal kebiasaan atau yang disebutnya ”habitus”.
Dari banyak sekali pemaknaan tersebut, gaya hidup dipandang menjadi wujud paling ekspresif berasal bagaimana cara insan menjalani serta memaknai kehidupannya, pula dipahami menjadi cara berkala pada menginvestasikan aspek-aspek tertentu berasal kehidupan sehari-hari menggunakan nilai sosial atau simbolis.
Mengakhiri tulisan ini, pertanyaan reflektif untuk kita bersama bukanlah ”mana yang lebih baik?”, melainkan ”dalam sebuah kota yang dibentuk oleh dua panggung ini, jembatan sosial apa yang sedang kita bangun, dan tembok sosial apa yang tanpa sadar sedang kita tinggikan?”
Selamat Hari Kopi Internasional, yuk ngopi, Rek...! (*)
*) Dhahana Adi Pungkas adalah academic and urban cultural interpreter.
*) Achmad Muzakky Cholily adalah antropolog dan aktivis budaya Surabaya.